REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan baru-baru ini mengonversi Hagia Sophia menjadi masjid. Langkah itu bisa disebut prestasi di kancah duni karena Turki tak ada beban internasional.
Namun, Erdogan disebut bisa menghadapi masalah dalam negeri. Hal tersebut diungkapkan Asisten professor Brooklyn College, Louis Fishman dalam analisanya mengenai situasi terkini di Turki. Kelompok oposisi dianggap akan bertindak ketika Erdogan melampaui batas.
"Erdogan nampaknya menunjukkan keberhasilan ideologi pribadinya yang memenangkan hati Muslim dunia dan membungkam gejolak internasional," kata Fishman dalam koran Israel Haaretz, dilansir di Anval, Senin (13/7).
Keputusan konversi Hagia Sophia keluar setelah Pengadilan Tinggi Turki mencabut statusnya sebagai museum sejak 1934. Hagia Sophia memang pernah berstatus Masjid usai Sultan Ottoman Mehmed II menaklukkan Konstantinopel pada abad ke-15.
Fishman memantau konversi Hagia Sophia menimbulkan kritik pedas dunia internasional. Erdogan dipandang menggunakan Hagia Sophia sebagai alat politik memuaskan permintaan kubu pendukung Islamisasi.
"Keputusan Erdogan soal Hagia Sophia lebih pada gerakan kekuasaan secara simbolis dan geopolitik. Dalam banyak hal, puncak dari 18 tahun kekuasaannya yang berturut-turut, dimungkinkan oleh status internasionalnya yang baru diisi, dan bertujuan untuk menyegarkan kembali posisinya di dalam negeri," ujar Fishman.
Fishman mengklaim konversi Hagia Sophia meningkatkan citra Erdogan sebagai pemimpin Muslim di dunia. Namun, ia ragu keputusan Erdogan diterima dengan lapang dada di dalam negeri.
"Ini lebih pada pertanyaan keberlangsungan hidup disana, seperti ekonomi yang akan menentukan masa depan Turki dan partai politiknya," ujar Fishman.
Meski begitu, Fishman menyebut konversi Hagia Sophia sudah dipertimbangkan matang Erdogan. Apalagi langkah ini seolah menjadi bentuk Islamisasi baru. "Restorasi Hagia Sophia menjadi Masjid menjadi bukti kemenangan Islam atas perang kuno melawan barat. Ini termasuk melawan Perang Salib baru," ucap Fishman.
Di sisi lain, Fishman memandang Turki punya kekuatan dan daya tawar yang bagus di Eropa. Khususnya dalam sektor pengungsi dimana Turki bersedia menampungnya hingga mengurangi beban Eropa. Atas dasar itu, Uni Eropa seolah bungkam atas konversi ini, kecuali Yunani. Uni Eropa juga disebut bergantung pada Turki.
Sedangkan oposisi di Turki memilih diam. Mereka tak banyak bersuara menentang konversi tersebut.
"Bukan karena mereka setuju dengan konversi ini, tapi karena mereka tahu ini bukan pertarungan yang bisa mereka menangkan," ungkap Fishman.