Rabu 15 Jul 2020 14:38 WIB

Ditinggal Barat dan Arab, Lebanon Kini Berharap pada China

Dengan menerima bantuan dari China, hubungan Lebanon dan AS bisa memburuk.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
  Kelompok Hizbullah mengerahkan banyak petugas medis dan relawan untuk menangani pandemi Covid-19 di Lebanon, Jumat (18/4).
Foto: EPA-EFE/Nabil Mounzer
Kelompok Hizbullah mengerahkan banyak petugas medis dan relawan untuk menangani pandemi Covid-19 di Lebanon, Jumat (18/4).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebanon yang tengah menghadapi krisis ekonomi  melihat peluang mendapat bantuan dari negara-negara Barat atau negara Arab kaya sangat kecil. Karena itu Lebanon berpaling ke China dengan harapan dapat mengamankan investasi yang sangat mereka butuhkan.

Namun bantuan dari Beijing berisiko mengganggu hubungan Amerika Serikat (AS).  Negara kecil di Mediterania dengan populasi 5 juta jiwa itu terletak di persimpangan strategis antara Asia dan Eropa.

Baca Juga

Lebanon sudah lama menjadi lahan perselisihan antara Iran dan Arab Saudi. Kini menjadi fokus ketegangan antara China dan AS.  Dalam beberapa bulan terakhir pound Lebanon kehilangan 80 persen nilainya terhadap dolar. Harga-harga pun melambung tinggi.  Banyak kelas menengah yang terperosok ke jurang kemiskinan.  

Perundingan dengan International Monetary Fund (IMF) tentang bailout telah gagal. Donor-donor internasional juga telah menolak untuk membuka bantuan sebesar 11 miliar dolar yang mereka janjikan tahun 2018 lalu.

Pemerintahan Perdana Menteri Hassan Diab yang mendukung kelompok muslim syiah Hizbullah pun hanya memiliki sejumlah pilihan. Salah satunya meminta bantuan ke China. Hizbullah yang didukung Iran pun mendorong keputusan tersebut.  

"Langkah kami menuju China sangat serius tapi kami tidak berpaling dari Barat," kata salah seorang pejabat tinggi pemerintah Lebanon yang tidak bersedia namanya disebutkan, Rabu (15/7).

Pejabat itu mengatakan China telah menawarkan bantuan untuk menyelesaikan masalah kekurangan energi listrik yang sudah melanda Lebanon puluhan tahun. Ia mengatakan pemerintah mempertimbangkan bantuan yang akan disalurkan oleh perusahaan milik pemerintah China itu. "Kami melewati situasi yang sangat luar biasa dan kami menyambut siapa pun yang ingin membantu," kata pejabat tersebut.

Menurut pemerintah dan ekonom, Beijing juga menawarkan untuk membangun pembangkit tenaga listrik dan terowongan yang memotong gunung untuk memperpendek perjalanan dari Beirut ke Bekaa Valley. China juga dikabarkan menawarkan pembangunan rel kereta di sepanjang pinggir pantai Lebanon.

Amerika Serikat (AS) yang memiliki sejarah panjang dengan Lebanon mengatakan bantuan China dapat merenggangkan hubungan kedua negara. AS salah satu pendukung terbesar militer Lebanon.

Tawaran China datang ketika Hizbullah dan sekutu-sekutunya semakin gencar menggambarkan krisis di Lebanon yang disebabkan korupsi dan salah urus selama puluhan tahun dipicu pemerintah AS. Mereka menuduh AS menerapkan 'pengepungan finansial' informal terhadap Lebanon.

Langkah yang menurut mereka diterapkan untuk menekan negara-negara Arab agar mereka menyatakan Hizbullah adalah organisasi teroris. Kantor perdana menteri merilis pernyataan dalam rapat pemerintahan 2 Juli lalu.

"Kami sangat tahu ada keputusan besar untuk mengepung negara, mereka mencegah Lebanon mendapat bantuan," kata Diab.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan menyalahkan sanksi-sanksi AS atas krisis ekonomi Lebanon itu salah arah.

Pada awal bulan ini Diab menerima Duta Besar China untuk Lebanon, Wang Kejian. Pertemuan ini dilakukan setelah menteri industri Lebanon diminta menindaklanjuti kemungkinan kerja sama antara kedua negara. Kejian menolak berkomentar. 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement