REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG--Buku adalah senjata untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan bahkan kemiskinan. Hanya dengan bacaan keterbelakangan masyarakat desa di Indonesia bisa dijawab. Inilah yang diyakini seluruh pengurus Yayasan Odesa Indonesia. Hal ini diungkapkan salah satu pimpinan Odesa Indonesia, Basuki Suhardiman.
''Anak-anak desa butuh literasi. Buku bacaan seperti fiksi bergambar atau novel atau kumpulan cerpen sangat diminati. Bahkan banyak novel berbobot juga diminati anak-anak SD dan SMP,'' kata Syauqy, yang memimpin sayap pergerakan Yayasan Odesa dengan nama Odesa Institute dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (16/7).
Menurut Syauqy, kebutuhan buku dalam praktik literasi komprehensif tentu bukan sekadar buku bacaan, melainkan juga buku dan alat belajar untuk menunjang praktik pembelajaran. Anak-anak petani desa butuh banyak buku bacaan, buku tulis, buku gambar, alat tulis dan alat peraga tentunya. Mereka sama seperti kebutuhan anak-anak dari kota. ''Minat baca termasuk praktek belajar sangat tinggi. Sayang kalau sampai tidak diberi kesempatan. Buku bekas juga tidak masalah, yang penting masih lengkap isinya,'' katanya. Syauqy menjelaskan, kebutuhan jenis buku bisa beragam, tetapi ia berharap setiap buku memiliki nilai karakter karena kebutuhan dasar pendidikan anak-anak usia SD, SMP dan SMA adalah karakter.
''Sedangkan untuk orang tua, terutama ibu-ibu dari anak-anak yang ikut-ikutan membaca membutuhkan bacaan ringan tapi praktis seperti buku panduan memasak, atau buku pertanian,'' ucap Syauqi.
Bersama Odesa Institute ini kaum muda Odesa aktif mengajar anak-anak desa dengan praktik Pembelajaran Media Aktif. Selain itu mereka juga belajar berwirausaha pertanian di dalam grup Pertanian Tanaman Obat Cimenyan (Taoci). Tak hanya itu, mahasiswa juga diwajibkan mendampingi para petani dalam bercocok tanam model pertanian ramah lingkungan. Mereka juga aktif membantu persoalan kekurangan air untuk menjawab masalah problem sanitasi keluarga miskin.
Sejak 2016, Yayasan yang aktif menggerakkan literasi. Menerjunkan relawan literasi yang bersedia bekerja masuk ke kampung-kampung perbukitan, mereka membagikan buku dengan cara peminjaman. Setiap minggu satu buku. “Itu minmal. Pada praktiknya, banyak anak yang bisa menamatkan 2-3 buku dalam satu pekan,” kata Ahmad Syauqy Ridho.
Syauqy dan 13 teman lainnya dari kalangan mahasiswa bahkan sejak awal 2020 ini semakin melebarkan sayap pergerakannya dengan menggarap 11 kampung di beberapa desa Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Bahkan di Garut ada dua kelompok belajar yang diberi nama Sekolah Garut (Segar). Di garut, Ramlan Gumilar mengaktifkan kegiatan belajar anak-anak desa.