REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- China menyatakan keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menanggapi penerapan Undang-Undang Keamanan di Hong Kong merupakan langkah yang salah. Washington justru yang akan mendapatkan kerugian besar atas pencopotan status istimewa untuk kota yang berada di bawah kendali Beijing.
"Campur tangan yang tidak masuk akal dan ancaman tidak tahu malu oleh Amerika Serikat adalah logika gangster dan perilaku intimidasi yang khas," kata pernyataan Kantor Penghubung Beijing di Hong Kong.
Kantor Penghubung Beijing di pusat keuangan Asia mengatakan, langkah mengakhiri status khusus Hong Kong di bawah hukum AS hanya akan merusak kepentingan Washington. Sementara, keputusan tersebut justru hanya akan berdampak kecil pada Hong Kong.
"Tidak ada kekuatan eksternal yang dapat menghalangi tekad dan kepercayaan China untuk mempertahankan kedaulatan dan keamanan nasional untuk kemakmuran dan stabilitas jangka panjang Hong Kong," ujar pernyataan kantor tersebut.
Undang-Undang Keamanan yang diberlakukan oleh Beijing menghukum tindakan yang dinilai sebagai subversi, pemisahan diri, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing yang hidup di penjara. Peraturan ini memicu kekhawatiran akan menghancurkan kebebasan yang selama ini dirasakan oleh penduduk Hong Kong.
Trump pada 14 Juli telah menandatangani perintah eksekutif untuk mengakhiri perlakuan istimewa di bidang ekonomi untuk Hong Kong. Keputusan ini memungkinkan AS untuk menjatuhkan sanksi dan pembatasan visa pada pejabat China dan lembaga keuangan yang terlibat dalam pengenaan hukum.
China telah mengancam akan menjatuhkan sanksi balasannya atas langkah Trump tersebut. Pemerintah pun telah memanggil Duta Besar AS untuk melayangkan protes. Sedangkan Hong Kong mengatakan akan mendukung tindakan yang Beijing pilih untuk melawan AS.
"Adalah munafik bagi AS untuk memperkenalkan langkah-langkah untuk menyerang China dengan menciptakan masalah di (Hong Kong) dengan dalih hak asasi manusia, demokrasi, dan otonomi karena pertimbangan politiknya sendiri," kata pemerintah China.