REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemerintah Libya mengecam pernyataan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi yang menyatakan Kairo dapat mempersenjatai suku-suku di Libya untuk melawan pemerintah yang diakui secara internasional. Menurutnya, komentar tersebut merupakan intervensi mencolok dalam urusan internal Tripoli.
"Omongan al-Sisi adalah pengulangan dari pernyataan sebelumnya yang merupakan campur tangan terang-terangan dalam urusan Libya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Libya Mohammed al-Qablawi saat diwawancara Aljazirah TV pada Kamis (16/7), dikutip laman Anadolu Agency.
Menurut dia, pidato Sisi tidak ditujukan untuk perdamaian seperti yang dia katakan. "Tapi dialah yang memicu konflik (Libya)," ujar al-Qablawi.
Pada Kamis lalu, Sisi melakukan pertemuan dengan para pemimpin suku Libya di Kairo. Sisi mengatakan, akan meminta persetujuan parlemen untuk melakukan operasi militer jika ada intervensi di Libya.
“Mesir mampu mengubah kancah militer di Libya dan telah memiliki pasukan terkuat di dunia Arab serta Afrika. Jika pasukan Mesir memasuki Libya, Anda (para pemimpin suku) akan menjadi pemimpin pasukan dengan bendera Libya,” kata Sisi.
Menurutnya, pidato yang disampaikannya bulan lalu di pangkalan militer Sidi Barani tentang garis merah adalah undangan untuk perdamaian dan akhir dari konflik. Kala itu Sisi menekankan bahwa Sirte dan Al-Jufra adalah garis merah untuk keamanan nasional Mesir.
Pada kesempatan itu, Sisi mengatakan sejak Deklarasi Kairo diumumkan, diketahui bahwa salah satu pihak yang terlibat enggan mematuhi gencatan senjata. Inisiatif Deklarasi Kairo didasarkan pada resolusi Dewan Keamanan PBB dan kesimpulan konferensi Berlin.
Ia menetapkan gencatan senjata dimulai pada 8 Juni, dengan kepatuhan terhadap semua inisiatif internasional dan resolusi Dewan Keamanan pada kesatuan dan integritas wilayah Libya.
Deklarasi Kairo turut menetapkan kelanjutan pembicaraan 5+5 Komisi Militer Bersama Libya di Jenewa, Swiss, yang disponsori PBB. Semua pihak asing diwajibkan menyingkirkan semua tentara bayaran asing secara nasional, membubarkan milisi, dan menyerahkan senjata guna memungkinkan Libyan National Army (LNA) bekerja sama dengan aparat keamanan lainnya melaksanakan tugas militer mereka.
Government of National Accord (GNA) menolak hal tersebut. GNA merupakan pemerintahan Libya yang diakui PBB. Selama ini GNA terlibat pertempuran dengan LNA yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.
Setahun belakangan, LNA melancarkan serangan ke basis GNA di Tripoli. Namun beberapa pekan terakhir, GNA, dengan bantuan Turki berhasil memukul mundur pasukan LNA dan merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai LNA, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat. GNA terus mendesak LNA hingga ke kota pesisir Sirte.
Mesir selaku pendukung LNA sempat menyerukan gencatan senjata. Khalifa Haftar yang posisinya tengah terdesak segera menyetujuinya. Namun Turki dan GNA menolak seruan tersebut. Mereka menilai seruan itu hanya taktik setelah LNA mengalami kekalahan telak dalam pertempuran.