Sabtu 18 Jul 2020 11:42 WIB

Baru 20,8 Persen Potensi Laut di Natuna yang Dimanfaatkan

Rokhmin: Bagaimana kita mau berdiplomasi jika masih dalam keadaan miskin.

Wilayah Natuna yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan.
Foto: Antara
Wilayah Natuna yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University mengadakan Seminar From Home (SFH) series ke-5, Kamis (16/7). Tema yang diangkat adalah Penguatan Diplomasi Perikanan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan (LTS).

SFH lewat aplikasi zoom ini menghadirkan pembicara  Prof Dr Rokhmin Dahuri, Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan RI;  Gilang Kembara, Center for Strategic and International Studies; dan  Dr Yonvitner, dosen IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK.

Laut Tiongkok Selatan (LTS) memiliki nilai strategis yang besar bagi Indonesia, baik dari segi potensi sumberdaya alam, posisi geoekonomi maupun geopolitik. Menurut Prof Rokhmin Dahuri, LTS yang kemudian dinamai menjadi Laut Natuna Utara (LNU) memiliki potensi perikanan yang besar.

"LTS bagian Indonesia berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711. Meliputi Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Natuna Utara. Potensi lestari sumberdaya ikan di WPPNRI 711 sebesar 767.126 ton per tahun. Pada Laut Natuna sendiri memiliki potensi sumberdaya ikan 504.212 ton. Namun hingga 2019, tingkat pemanfaatan baru 20,8 persen,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Menurut Prof Rokhmin,  rendahnya pemanfaatan potensi ikan tersebut dikarenakan sedikitnya kapal modern dengan kapasitas 20-30 GT. Hanya 0,1 persen kapal dengan kapasitas 20-30 GT dari total 4.639 kapal di Natuna.

“Supaya maju,  jangan terus dilarang-larang alat ini alat itu. Hari ini permasalahan kita adalah kemiskinan dan kebodohan. Bagaimana kita mau berdiplomasi jika masih dalam keadaan miskin,” jelasnya.

Prof Rokhmin menyampaikan strategi penguatan kedaulatan NKRI dan pembangunan ekonomi di wilayah Natuna dan Laut Tiongkok Selatan. Pertama dengan pembangunan ekonomi di  antaranya dengan peningkatan jumlah kapal modern di atas 50 GT, pengembangan coastal and offshore aquaculture serta pengembangan kawasan industri perikanan terpadu pola Kawasan Ekonomi Khusus di Natuna dan Anambas.

Kedua, dengan peningkatan pendekatan diplomasi dan politik. Di antaranya dengan penyelesaian batas wilayah laut, khususnya batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan Vietnam dan Malaysia, meyakinkan China untuk tidak menggunakan doktrin "nine dash line" dalam urusan LTS tetapi menggunakan UNCLOS 1982 dan meyakinkan AS untuk tidak ikut campur perihal LTS melalui ASEAN centrality.

"Ketiga yaitu penguatan dan pengembangan pertahanan keamanan melalui peningkatan kualitas dan penambahan jumlah kapal patroli sesuai asas essential minimal forces serta penguatan dan pengembangan pangkalan militer di Natuna dan Anambas sesuai kebutuhan," ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama Gilang Kembara menyampaikan pentingnya menghindari tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons). Yaitu kondisi di  mana suatu individu bertindak, berdasarkan kepentingannya sendiri, melawan kebaikan bersama dengan merusak, atau menguras habis suatu sumber daya.

Menurutnya negara-negara yang berbatasan dengan wilayah LTS, harus mengedepankan kerja sama dengan itikad baik dan tanpa prasangka sebagaimana pelaksanaan asas good neighbor country. Mempromosikan kegiatan-kegiatan low politics membantu meningkatkan kepercayaan antar aktor-aktor negara.

"Oleh karena itu, kerja sama bukan saja sebuah keharusan, tetapi kebutuhan mendasar. Terutama untuk menghindari the tragedy of the common goods", ujarnya.

Sementara Dr Yonvitner, dosen IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan menjelaskan dari sisi diplomasi sains. Menurutnya riset menjadi tools penting dalam berdiplomasi. Perubahan paradigma karena kepentingan masing-masing negara terutama menjadi negara maritim menimbulkan persaingan dalam penguasaan sumberdaya alam. Hal ini ditandai meningkatnya kerja  sama menurut asas kepentingan dan juga meningkatnya aktivitas riset masif di LTS.

"Riset menjadi alat komunikasi baru yang kita harus hati-hati. Riset itu harus menjadi pertahanan nir militer kita. Semisal kita terlibat dalam suatu kerja sama riset, kemudian tergabung dalam suatu big data, dimana data kita diolah di sana misalnya, lalu diketahui bahwa tongkol di Indonesia dan di China itu sama, maka mereka akan coba membuat kebijakan share stock sehingga kita tidak akan dapat apa-apa,” tandasnya.

SFH ini menyimpulkan bahwa untuk mengurai konflik di LTS, perlu diplomasi perikanan melalui join development, karena Indonesia bukan non-claimant state. Selain itu, perlu menjadikan LTS sebagai RFMO (Regional Fisheries Management Organization) mini dalam mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement