REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group), Hong Arta John Alfred sebagai tersangka, Senin (20/7) hari ini. Pemeriksaan kali ini merupakan penjadwalan ulang lantaran pada Senin (13/7) pekan lalu, tersangka kasus dugaan proyek pembangunan jalan yang digarap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016 tak penuhi panggilan penyidik.
Meski telah diperiksa sebagai tersangka, penyidik KPK tak lantas langsung menahan Hong Artha. Usai diperiksa, Hong Artha sempat geram dan tidak bersedia untuk difoto, Hong Artha juga menegaskan dirinya bukanlah pejahat.
"Saya bukan penjahat negara, kalian foto saya terlalu banyak, tahu enggak?" ucap Hong Arta di Gedung KPK Jakarta, Senin (20/7).
Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, dalam pemeriksaan kali ini, penyidik masih terus melakukan pendalaman mengenai dugaan perbuatan Hong Artha memberikan sejumlah uang kepada sejumlah pihak. "Penyidik mendalami apakah ada aliran uang kepada pihak-pihak selain kepada Terpidana Amran Hi Mustary dan Terpidana Damayanti Wisnu Putranti yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap," kata Ali Fikri.
KPK menetapkan Komisaris dan Direktur PT Sharleen Raya, Hong Arta John Alfred sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Hong Artha diduga bersama-sama memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Kepala Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary. Amran diduga menerima uang sebesar Rp 8 miliar dan Rp 2,6 miliar dari Hong Artha.
Hong Artha merupakan tersangka ke-12 setelah KPK menetapkan 11 orang lainnya. Dari 11 orang tersebut, 10 di antaranya sudah divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara. Penetapan status tersangka terhadap Hong Artha dilakukan pada 2 Juli 2019 lalu. Namun, hingga kini KPK belum melakukan penahanan terhadap Hong Artha.
Kasus ini bermula dari penangkapan mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti pada 13 Januari 2016. Dalam perkara tersebut, Amran divonis enam tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsider empat bulan kurungan karena menerima Rp2,6 miliar, Rp15,525 miliar, dan 202.816 dolar Singapura. Sementara Damayanti juga telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima 278.700 dolar Singapura dan Rp 1 miliar.