Selasa 21 Jul 2020 15:15 WIB

Ini Kata Importir Jepang Agar RI Bisa Ekspor Sayur dan Buah

Waktu panen yang berbeda dari China bisa jadi celah masuk ke pasar Jepang.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Petani memanen buah nanas di Tangkit Baru, Sungai Gelam, Muarojambi, Jambi (ilustrasi). Pasar Jepang bagi produk hortikultura terbuka lebar jika Indonesia mengetahui celah masuknya.
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Petani memanen buah nanas di Tangkit Baru, Sungai Gelam, Muarojambi, Jambi (ilustrasi). Pasar Jepang bagi produk hortikultura terbuka lebar jika Indonesia mengetahui celah masuknya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar Jepang bagi produk hortikultura terbuka lebar bagi Indonesia. Hanya saja, Jepang memiliki syarat yang cukup ketat untuk bisa menerima produk hortikultura dari mitra yang baru.

Pimpinan Yogi Tsusho Co Ltd, Hiroo Tokoro mengatakan, Jepang telah lama bergantung kepada impor dari China untuk produk hortikultura. Namun, lantara adanya kekhawatiran akan harga dan kualitas, beberapa tahun terakhir tren "bebas dari China" semakin berkembang.

Baca Juga

Ia mengatakan, dengan kata lain perusahaan importir di Jepang mencari alternatif pengganti produk China. "Selama ini Jepang bergantung ke China, tapi sudah mulai muncul klien kami yang meminta produk Indonesia," kata Tokoro dalam Japan-Indonesia Market Access Workshop yang digelar secara virtual, Selasa (21/7).

Ia menjelaskan, soal harga dan kualitas, Indonesia harus lebih bersaing dari China. Hal itu juga tak perlu diperdebatkan karena menjadi kewajiban para kompetitor.

Namun, ada strategi yang dibutuhkan untuk bisa menghindari kompetisi itu. Ia menuturkan, kompetisi itu dapat dihindari jika waktu panen komoditas hortikultura dapat berbeda dengan China yang dalam setahun ada empat musim.

Negara dengan iklim sub-tropis, kata Tokoro, seharusnya Indonesia dapat menyediakan pasokan yang stabil sepajang tahun. "Karena banyaknya permintaan akan sayuran dan buah-buahan yang akrab bagi orang Jepang, baik sekali jika kita memulai masuk dari celah ini," ujar Tokoro.

Meski demikian, ia menyampaikan, perusahaan Jepang cenderung berhati-hati terhadap sebuah produk baru. Dibutukan waktu lama antara setengah hingga satu tahun untuk memeriksa kualitas dan saling konfirmasi. Tokoro mengatakan, spesifikasi produk dan profil perusahaan saja tidak cukup untuk bisa menerima produk baru.

Banyak perusahaan Jepang yang mulanya mengunjungi lokasi pabrik sebelum bertransaksi. "Mereka tidak akan langsung menyetujui hanya karena eksportir punya berbagai sertifikasi seperti ISO, HACCP, dan sebagainya. Syarat kualitas Jepang sering kali lebih ketat daripada negara lain. Jadi tidak perlu dijawab dengan keyakinan, tapi harus diurai," kata Tokoro menjelaskan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement