REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Kecanggihan pesawat udara tak berawak atau drone buatan Turki telah mendapatkan popularitas dan menjadi komoditas yang dicari di pasar senjata global. Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang melarang ekspor drone, mendorong industri pertahanan Turki mengembangkan strategi baru dengan memproduksi pesawat nirawak secara mandiri sebagai upaya untuk subtitusi impor.
Pada 2018, Turki telah mencapai kemajuan dalam mengembangkan pesawat udara tak berawak dan kendaraan tempur tak berawak yang digunakan oleh angkatan bersenjata dalam operasi militer. Hal ini sejalan dengan cita-cita Presiden Recep Tayyip Erdogan yang menetapkan tujuan strategis bahwa Turki harus masuk sepuluh besar eksportir industri pertahanan global pada 2023.
“Saya tidak ingin menjadi sarkastik, tetapi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada (pemerintah AS) untuk setiap proyek yang tidak disetujui, karena hal tersebut memaksa kami untuk mengembangkan sistem kami sendiri," ujar Presiden Industri Pertahanan ASELSAN, Ismail Demir, dilansir Fair Observer, Ahad (26/7).
Pada akhir 2019, Turki dilaporkan menjadi pengguna drone terbesar kedua di dunia. Selain itu, Turki juga menjadi negara pertama pengguna drone yang dapat melacak, menemukan, dan membunuh target tanpa campur tangan manusia. Drone Bayraktar TB2 melakukan misi pembunuhan pertamanya pada 2016, dan menjadi pesawat udara tak berawak pertama Turki yang dibuat di dalam negeri.
Antara 2016 dan 2019, kendaraan tak berawak Turki berhasil digunakan dalam Operasi Eufrat Shield, Operation Olive Branch, Operation Peace Spring serta operasi lainnya dalam kontra pemberontakan melawan kelompok pemberontak Kurdi di timur Turki dan Irak timur laut. Pada 2020, Turki mencapai tonggak baru dalam penggunaan kendaraan tak berawak untuk operasi di Suriah dan Libya.
Pada 2017, Turki menjual enam Bayraktar TB2 ke Qatar. Selanjutnya, Turki menandatangani kontrak senilai 69 juta dolar AS dengan Ukraina yang membeli enam Bayraktar TB2.
Indonesia dilaporkan juga memiliki minat untuk membeli drone buatan Turki tersebut. Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto telah berkunjung ke Turki dalam rangka kerja sama keamanan, termasuk melirik pesawat nirawak Ankara.
Baca juga, Menhan Prabowo ke Turki Bahas Pesawat Tanpa Awak.
Presiden Industri Pertahanan Turki Ismail Demir dalam kicauannya mengakui pertemuannya dengan Prabowo salah satunya membahas unmanned aerial vehicle (UAV). "Pada pertemuan ini, kita bertukar pandangan mengenai kerja sama alat utama sistem persenjataan (alutsista), di antaranya pesawat tanpa awak (UAV), kendaraan laut (kapal), dan kendaraan darat (tempur)," kata Ismail.
Selain menjual Bayraktar TB2, Turki juga menjual enam drone Anka-S ke Tunisia beserta tiga stasiun kontrol darat dengan kontrak senilai 240 juta dolar AS. Turki terus mengembangkan teknologi drone di dalam negeri.
Belum lama ini, militer Turki menerima 500 drone taktis Kragu-2 yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi. Nama Kragu diambil dari kata Turki kuno yang artinya menara pengawas. Kragu-2 yang diproduksi oleh perusahaan Turki, STM adalah sebuah multicopter yang memiliki mesin seberat 15 pound dengan kecepatan hingga 90 mph, serta fitur pencitraan infra merah.
Kragu-2 dikendalikan oleh operator dari jarak enam mil dan mampu mengunci serta meledakkan target. Konsepnya mirip dengan amunisi Switchlade yang digunakan oleh pasukan khsusus AS, namun memiliki hulu ledak yang lebih besar.
CEO STM, Murat Ikinci mengatakan kepada surat kabar Hurriyet bahwa Kragu-2 memiliki fitur pengenalan wajah yang dapat mencari individu tertentu. Selain itu, STM juga telah membuat ALPAGU, yakni drone bersayap yang ukurannya lebih kecil namun memiliki elemen sama dengan Kragu-2.
Militer Turki menggunakan drone Kragu-2 untuk operasi melawan kelompok bersenjata di perbatasan Suriah. Sebanyak 500 Kragu-2 telah dikerahkan untuk operasi militer di Suriah.
Selain itu, drone buatan Turki juga digunakan untuk operasi militer di Libya. Turki telah mengerahkan dronenya untuk membantu pasukan Government of National Accord (GNA) mengalahkan Libyan National Army (LNA) yang dipimpin oleh Khalifa Haftar dalam sejumlah pertempuran.
"Turki telah menyelamatkan kita pada waktunya. Drone Turki telah datang untuk membantu Tripoli," ujar Menteri Dalam Negeri GNA, Fathi Bushagha, dilansir TNT World.
Sejak April, pasukan GNA telah merebut kembali sejumlah kota antara Tripoli dan perbatasan Tunisia, serta menempatkan LNA dalam posisi genting. Menurut laporan GNA, bantuan drone Turki telah menghancurkan sistem Pantsir lainnya, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai sistem teknologi pertahanan udara Rusia yang mendukung LNA. Dibawah persenjataan drone Turki yang berteknologi tinggi, GNA terus bergerak maju melawan LNA.
Khawatir dengan kekalahan yang dialami Haftar, Rusia mengirim enam jet tempur MiG-29 dan dua pesawat serang Su-24 ke pangkalan udara al-Jufra yang dikuasai LNA. Analis politik Libya dan mantan penasihat Dewan Tinggi Libya, Salah Bakkoush mengatakan, Libya adalah negara yang luas dengan ruang terbuka dan daerah semi gurun, yang pada dasarnya sulit untuk menyembunyikan pergerakan pasukan.
Bakkoush mengatakan, sebelum ada bantuan drone dari Turki, Angkatan Udara Haftar yang didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Rusia kerap mendatangkan malapetakan bagi pasukan GNA. Selain itu, Angkatan Udara Haftar juga telah menimbulkan korban besar bagi GNA.
“Dalam hal ini, Anda membutuhkan banyak perlindungan udara (untuk bertahan hidup secara militer). Jika Anda tidak memiliki pelindung udara, Anda akan dengan mudah diserang oleh pihak lawan (dengan angkatan udara yang lebih baik). Itulah yang terjadi pada kami, sampai kami mendapatkan drone Turki," kata Bakkoush.
Bakkoush berpendapat, drone Turki sangat efektif dalam operasi militer di Idlib dan wilayah lain di Suriah. Oleh karena itu, GNA dapat unggul melawan angkatan udara Haftar dengan bantuan drone canggih Turki yang didatangkan pada akhir 2019. Keberhasilan penggunaan drone telah menjadi simbol kebanggaan nasional dan kemenangan secara moral serta psikologis bagi Turki.