REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Penyelenggara unjuk rasa Black Lives Matter Australia berjanji tetap menggelar aksi mereka di Sydney walaupun pengadilan sudah memutuskan demonstrasi itu melanggar kebijakan proteksi penyebaran virus corona.
Aksi itu mengikuti momentum gelombang unjuk rasa anti-rasialisme dan brutalitas polisi yang terjadi di seluruh dunia. Demonstrasi di Australia lebih menyoroti jumlah warga Aborigin yang tewas saat ditahan polisi.
"Saya tidak melihat satupun alasan mengapa kami tidak bisa menggelar protes damai sama sekali," kata salah satu penyelenggara unjuk rasa Paul Silva pada Australian Broadcasting Corp, Selasa (28/7).
Demonstrasi digelar saat angka kasus infeksi Covid-19 di Australia meningkat. Setelah terjadi ledakan wabah di Negara Bagian Victoria, pada Senin (27/7) kemarin, Australia mengumumkan jumlah kasus harian tertinggi mereka.
New South Wales (NSW) yang bertetangga dengan Victoria juga sedang menghadapi sejumlah kluster. Pemerintah negara bagian yang menangungi Sydney itu memperingatkan akan menahan warga yang ikut unjuk rasa.
Penyelenggara aksi kalah dalam sidang di Pengadilan Banding untuk mencabut perintah pengadilan yang memberikan wewenang polisi NSW untuk melarang unjuk rasa. Panitia unjuk rasa memperkirakan demonstrasi itu akan diikuti sekitar 500 orang.
Mereka menegaskan akan mematuhi peraturan pembatasan sosial. Warga yang berpartisipasi dalam aksi itu akan disebar sejauh per 20 orang. Panitia juga akan menyediakan sanitisers dan masker.
Menteri Kesehatan Greg Hunt memberikan peringatan terakhir pada warga untuk tidak menghadiri unjuk rasa itu. Ia meminta masyarakat cukup menggelar upacara hening di rumah masing-masing.
"Jangan, Anda dapat mengambil nyawa orang lain, sesederhana itu," kata Hunt pada Sky News.