REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Diperlukan upaya mengajak dan merangkul anak muda dalam penguatan karakter bangsa agar mereka punya wawasan terhadap sejarah bangsanya sendiri.
Hal ini disampaikan guru gesar tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Asep Usman Ismail. "Apalagi, mereka yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini ke depan. Di tangan mereka pulalah kualitas bangsa ini dipertaruhkan," kata dia di Jakarta, Rabu (5/8).
Asep Usman melanjutkan, "Kalau hari ini ada bayi lahir, 20 tahun kemudian dia sudah remaja. Kalau hari ini remaja, 20 tahun lagi sudah jadi pemimpin bangsa. Maka, kaum muda harus punya pikiran yang terbuka, kreatif, inovatif, dan komunikatif dalam melihat persoalan bangsa ini."
Dia mengatakan Indonesia adalah negara yang besar, baik diri sisi wilayah, jumlah penduduk, maupun kekayaan alamnya, dan tidak kalah penting adalah kekuatan sumber daya manusia (SDM).
Menurut Asep Usman, banyaknya beragama Islam di Indonesia dan mayoritas menjadikan negara ini adalah negara Muslim terbesar di dunia.
Dengan sumber daya alam (SDA) dan SDM-nya yang oke, menjurut dia, banyak pihak tidak ingin Indonesia kuat. Mereka ingin disintegrasi.
"Kita tidak boleh terjebak pada hal itu. Jadi, pikiran-pikiran yang ingin radikal akan terus bertumbuh kembang jika kita tidak menyamakan persepsi, jika kita mengelola negara tidak pakai konsep, dan jika para penyelenggara negaranya tidak mencerminkan negarawan yang punya etika," tutur dosen kajian terorisme pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) itu.
Menurut dia, para penyelenggara negara harus memberikan contoh kepada masyarakat dengan mencerminkan sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila agar tidak muncul pandangan-pandangan yang tidak puas sehingga berusaha mencari alternatif.
"Jika sudah seperti itu, pandangan radikal akan dianggap sebagai alternatif. Untuk itu, perlu upaya komprehensif dalam bidang pencegahan untuk yang belum terpapar dan bagi yang sudah terpapar," katanya.
Asep Usman berpendapat bahwa pencegahan ini bisa mulai dari unit terkecil, yaitu keluarga, sekolah, lingkungan kampus, lingkungan kelompok-kelompok sosial masyarakat dan semua kalangan komponen bangsa.
Asep menuturkan bahwa organisasi masyarakat (ormas) juga perlu dirangkul karena mereka jumlahnya banyak dan cakupannya luas.
"Tidak boleh berhenti hanya pada ormas yang besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Karena banyak ormas yang berbasis keislaman lainnya, seperti Persatuan Islam (Persis), Matlaul Anwar, dan Persatuan Umat Islam (PUI) juga perlu diajak," katanya.
Ia lantas mengatakan, "Partisipasi inilah untuk memperkuat karena terorisme itu bukan masalah satu orang atau satu lembaga saja, melainkan masalah bangsa secara keseluruhan."
Asep mengemukakan bahwa pemerintah melalui BNPT telah melakukan upaya yang cukup komprehensif dengan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.
"Ada keberanian untuk melakukan evaluasi, mengakui kekurangan yang ada, kemudian melakukan perbaikan-perbaikan," ujarnya.
Ia mengutarakan bahwa BNPT hadir sebagai sebuah jawaban terhadap masalah yang ada, khususnya dalam bidang penanggulangan terorisme, karena mengakui kekurangan dan juga ada tekad untuk memperbaiki.
Selain itu, lanjut dia, mengundang partisipasi dari semua komponen bangsa, termasuk kalangan akademisi, supaya rumusan-rumusan itu betul-betul berdasarkan kajian dan tidak berdasarkan perkiraan.