REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta Ahmad Khoirul Umam menilai positif pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Ia juga mengingatkan kedua pihak untuk tidak terpancing pihak-pihak yang tidak suka jika PDI Perjuangan dan Partai Demokrat dekat usai pertemuan tersebut.
"Saat situasi krisis, para pemimpin politik harus mengedepankan persatuan dan kebersamaan. Ada extra-ordinary situation. Komunikasi politik AHY dan Puan diharapkan akan mempercepat langkah-langkah taktis maupun strategi penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi negara," katanya,di Jakarta, Jumat (7/8).
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan Ketua DPR Puan Maharani melakukan pertemuan di Gedung DPR RI Senayan, Kamis (6/8) lalu. Setelah itu, muncul gejala adanya pihak-pihak yang tidak suka PDIP dan Partai Demokrat membangun komunikasi politik yang konstruktif.
Sejumlah perdebatan yang melibatkan masing-masing kelompok pendukung seketika bermunculan. Utamanya, terkait narasi membanding-bandingkan prestasi ekonomi antara era Presiden SBY dan Presiden Jokowi sebagai respons atas jatuhnya pertumbuhan ekonomi nasional hingga -5,32 persen atau terendah sejak krisis moneter 1997/1998.
Umam yang juga managing director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menilai pertemuan Puan dan AHY merupakan langkah positif yang harus diapresiasi di tengah krisis pandemi ini. Menurut dia, dukungan politik AHY sebagai pimpinan partai penyeimbang ini sangat penting untuk percepatan langkah-langkah pemerintah.
Kekuatan politik AHY, kata dia, dapat mendorong percepatan itu lewat pengawasan ekstra ketat terhadap pembelanjaan alokasi anggaran penanganan pandemi yang mencapai Rp900-an triliun.
Apalagi, Presiden Joko Widodo sempat marah karena rasio tes virus yang lambat, langkah "contact tracing" yang kurang optimal, hingga pendistribusian bantuan sosial dan stimulus penyelamatan ekonomi yang sangat terlambat. "Jika di kuartal I dan II semua langkah fundamental itu terlambat dilakukan sampai berdampak pada anjloknya ekonomi negara, maka pembelanjaan Rp900-an triliun dalam 5 bulan terakhir tahun 2020 ini akan membuka ruang penyalahgunaan hingga praktik mega korupsi yang masif dan berskala besar," kata dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina tersebut.
Karena itu, lanjut Umam, komunikasi politik itu hendaknya tidak dirusak oleh narasi yang membentur-benturkan dan mengeksploitasi dendam, serta kebencian politik masa lalu. "Jangan terpancing mereka yang lagi-lagi mengeksploitasi dendam dan kebencian. Di tengah krisis, semua pihak harus menjaga kondusifitas politik nasional. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi di kuartal II kembali negatif, hingga terjadi resesi atau bahkan depresi di kuartal ke-IV," pungkas peraih Doktor Ilmu Politik dari Universitas Queensland, Australia tersebut.