Ahad 09 Aug 2020 07:28 WIB

Aksi Unjuk Rasa di Beirut Berujung Ricuh

Lebih dari 100 orang peserta aksi unjuk rasa di Beirut terluka.

Rep: Mabruroh/ Red: Indira Rezkisari
Unjuk rasa anti pemerintahan di Beirut, Lebanon, Sabtu (8/8), pecah dan berujung ricuh. Masyarakat berkumpul di kegiatan mereka sebut Aksi Sabtu Menggantung Tali sebagai bentuk protes kepada pemimpin politik. Massa menuntut pemimpin politik bertanggung jawab atas ledakan dahsyat di pelabuhan.
Foto: EPA-EFE/IBRAHIM DIRANI DAR AL MUSSAWIR
Unjuk rasa anti pemerintahan di Beirut, Lebanon, Sabtu (8/8), pecah dan berujung ricuh. Masyarakat berkumpul di kegiatan mereka sebut Aksi Sabtu Menggantung Tali sebagai bentuk protes kepada pemimpin politik. Massa menuntut pemimpin politik bertanggung jawab atas ledakan dahsyat di pelabuhan.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Ledakan dahsyat di Beirut pada Selasa lalu menimbulkan aksi balas dendam dari masyarakat Lebanon. Menurut mereka, pemerintah harus bertanggung jawab atas ledakan yang menghancurkan sebagian besar ibu kota Lebanon.

Pada Sabtu (8/8) kemarin ribuan masa berkumpul melakukan unjuk rasa. Peserta aksi juga mendirikan tiang gantungan di Lapangan Martir, Beirut.

Baca Juga

Demonstrasi tersebut berakhir ricuh dan menimbulkan banyak korban luka-luka. Lebih dari 100 pengunjuk rasa terluka dalam bentrokan itu.

Polisi bahkan harus menembakkan gas air mata dan peluru karet kepada ribuan orang yang berkumpul dan menyerukan jatuhnya elit politik negara. "Rakyat ingin rezim jatuh!" salah satu teriakan dari para peserta demontrasi.

Setelah itu para demonstran memasang tiang gantungan, patung para pemimpin politik, termasuk mantan perdana menteri Saad Hariri dan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah juga ditampilkan. Ini merupakan beberapa tanda kemarahan publik yang paling eksplisit terlihat selama bertahun-tahun.

Polisi menembakkan peluru tajam ke udara untuk membubarkan para pengunjuk rasa. Namun justru ditanggapi dengan melemparkan batu dan menyerang barisan keamanan.

"Kami datang dari Hasbaya sebagai solidaritas dengan Beirut. Kami datang untuk berdiri bersama dalam kesedihan dan menyampaikan belasungkawa atas kehilangan putra dan putri," ujar salah satu pengunjuk rasa,  Lina dilansir dari Arab News, Ahad (9/8).

“Kami datang untuk memberitahu semua pemimpin untuk pergi sehingga kami dapat membangun kembali apa yang telah Anda hancurkan, apa yang terjadi adalah karena kelalaian dan keserakahan Anda,” katanya.

Sementara itu, blok parlemen Partai Kataeb yang beranggotakan tiga orang mengundurkan diri pada Sabtu sebagai protes atas ledakan itu. Sehingga jumlah anggota parlemen yang mundur sejak bencana itu menjadi lima orang.

Ledakan dahsyat Selasa lalu telah menewaskan 154 orang dan 5.000 lainnya luka-luka, serta masih ada 60 orang yang dinyatakan hilang.  Kedutaan Besar Suriah di Lebanon mengatakan 43 warga Suriah termasuk di antara mereka yang tewas dalam ledakan tersebut.

Tim militer yang bekerja di lokasi ledakan melakukan tes untuk bahan kimia, radioaktif atau biologis pada Sabtu kemarin. Tim penyelamat bekerja sepanjang waktu mencari sinyal ponsel untuk mencari mereka yang hilang setelah ledakan. Namun, tim kesulitan melakukan pencarian karena banyaknya puing-puing bangunan yang hancur dalam ledakan tersebut.

Penyelam militer juga mencari korban di pelabuhan dan lautan terdekat. Mereka menemukan tubuh yang terlempar hingga 500 meter akibat dahsyatnya kekuatan ledakan.

Brigadir Komandan Ruang Operasi Kementerian Pertahanan, Jenderal Jean Nohra mengatakan, pada Sabtu pagi, total 61 pesawat bantuan telah mendarat di Bandara Beirut membawa persediaan medis dan bantuan serta makanan. Ia mengatakan, distribusi perbekalan kesehatan dilakukan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan persediaan disimpan di markas besar Otoritas Medis Militer Pusat di Beirut sebelum didistribusikan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement