REPUBLIKA.CO.ID, ABC NEWS -- Swedia, negara berpenduduk sekitar 10 juta jiwa ini sangat longgar dalam menanggapi virus corona dan tidak menerapkan pembatasan sosial, seperti 'lockdown' yang dilakukan di negara-negara tetangganya.
Tak ada jam malam dan penutupan aktivitas masyarakat, juga Swedia memilih untuk tetap membuka sekolah dan kegiatan bisnis.
Langkah ini mendapat banyak kecaman, terutama setelah terungkapnya surat-surat elektronik dari kepala epidemiologis negara itu, Dr Anders Tegnell.
Surat-surat yang diperoleh jurnalis Swedia menunjukkan kebijakan herd-immunity, atau kekebalan massal, menjadi bahan pembicaraan untuk dipertimbangkan.
Dr Tegnell sejak Maret lalu telah menanyakan kemungkinan kematian yang lebih tinggi di kalangan warga lanjut usia dapat diterima demi mempercepat tercapainya kekebalan kawanan.
Persentase kematian terkait COVID-19 di Swedia, yaitu 5.700 jiwa, termasuk yang paling buruk di dunia.
Namun tetap lebih rendah dibandingkan beberapa negara Eropa yang menerapkan pembatasan ketat seperti Italia, Inggris dan Spanyol.
Pihak berwenang mengakui Swedia gagal dalam mempersiapkan diri di sektor panti jompo yang ribuan penghuninya menjadi korban.
Perdebatan soal kekebalan massal
Selama pandemi ini, Swedia dipandang sebagai paria atau kasta terendah di antara negara-negara Skandinavia.
Pendekatan yang mereka terapkan sangat berbeda dengan apa yang dilakukan Norwegia, Denmark dan Finlandia.
Irama kehidupan 10 juta warga Swedia tetap mengalami perubahan dan pendekatan yang dilakukan pemerintah tak boleh dilihat sebagai kelonggaran, menurut sejumlah pakar kesehatan.
Pemerintah Swedia sebenarnya memberlakukan pembatasan, misalnya pertemuan massal tetap dilarang, ada anjuran untuk tidak melakukan perjalanan yang tak penting.
Warga juga diminta bekerja dari rumah serta mengisolasi diri jika merasa tidak sehat.
"Kami tidak menerapkan pembatasan ketat, namun jelas hal ini cukup berhasil," ujar Profesor Joakim Dillner, epidemiolog dari Karolinska Institute.
Ia mengakui di kalangan komunitas ilmiah masih terjadi perdebatan mengenai strategi yang diterapkan Swedia ini.
Dia sendiri berpendapat, tes COVID-19 yang hanya memprioritaskan orang sakit serta tak adanya pemeriksaan menyeluruh terhadap tenaga kesehatan, merupakan kekeliruan.
"Kami berpendapat bila WHO menyarankan 'tes, tes, dan tes', seharus kita mematuhi hal itu," tambahnya.
Mengandalkan akal sehat
Sejak awal Pemerintah Swedia bersikeras jika pendekatan longgar yang mereka terapkan mencerminkan sifat pandemi dan menunggu tersedianya vaksin.
Mereka menyebut pandemi ini sebagai maraton, bukan lari cepat.
Perdana Menteri Swedia, Stefan Löfven mengatakan pihaknya mengandalkan "Folkvett", atau akal sehat masyarakat, untuk memastikan sistem kesehatan tidak kewalahan.
Diperkirakan tanpa adanya pembatasan ketat, maka 40 persen populasi Kota Stockholm akan mencapai kekebalan kawanan pada Mei lalu.
Namun sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hal itu belum terwujud hingga pertengahan Agustus ini.
Sebuah makalah yang diterbitkan oleh Journal of Royal Society of Medicine menyebutkan hanya sekitar 15-20 persen populasi ibukota Swedia itu telah memiliki antibodi COVID-19 dalam tubuh mereka.
Penulis makalah, yakni Profesor David Goldsmith menilai pendekatan Swedia ini sangat naif.
"Mereka memiliki tingkat kematian yang 10 kali lipat dari satu juta penduduk dibanding negara-negara sekitarnya," katanya.
Dia menjelaskan, tidak banyak ditemukan antibodi pada orang tanpa gejala, yang berarti mereka cenderung tidak kebal terhadap COVID-19.
"Mereka harus pikirkan kembali apakah cara ini benar-benar tepat?" ujar Prof. Goldsmith.
"Terutama karena belum terjadi ada kekebalan massal, yang menurut saya, tidak akan pernah terjadi," jelasnya.
Namun Prof. Dillner menyatakan sebenarnya sudah terjadi penyebaran signifikan di beberapa wilayah Stockholm.
Penelitiannya menunjukkan sekitar 8 hingga 31 persen tenaga kesehatan di Stockholm telah memiliki antibodi.
Meredam pukulan ekonomi
Pejabat kesehatan masyarakat Swedia menyatakan strategi mereka tidak difokuskan untuk melindungi ekonomi.
Namun banyak negara menunggu apakah pendekatan Swedia akan menyelamatkan perekonomian mereka.
Data terbaru menyebutkan terjadinya penyusutan ekonomi 8,6 persen untuk kuartal April-Juni, yang merupakan kinerja terburuk dalam beberapa dekade.
Bersama negara-negara Nordik lainnya, negara ini tidak mengalami pukulan keras di bidang ekonomi seperti yang dialami Eropa secara umum.
Profesor Andreas Ortmann dari Universitas New South Wales di Sydney menilai masih terlalu dini untuk menentukan apakah strategi Swedia berhasil atau tidak.
"Jika hanya melihat satu ukuran yaitu tingkat kematian, itu tidak ilmiah dan menyesatkan," katanya kepada ABC.
Profesor Ortmann mengatakan penilaian ini perlu memperhitungkan tingkat pengangguran terselubung, kepercayaan dunia usaha serta kesehatan mental warga Swedia.
Dia menyebutkan salah satu kekuatan Swedia adalah kepercayaan publik terhadap anjuran pemerintah cukup besar.
"Otoritas kesehatan masyarakat di sana cukup populer. Dua dari tiga orang Swedia tampaknya menerima startegi yang mereka lakukan," katanya.
"Kepatuhan warga Swedia terhadap rekomendasi otoritas kesehatan masyarakat sangat tinggi, sekitar 80 persen," tambah Prof. Ortmann.
Profesor Goldsmith sependapat dan mengatakan terlalu dini untuk membandingkan pendekatan yang diterapkan oleh tiap negara.
"Semua orang tentu senang bila bisa menjawab dan tahu persis apa yang harus dilakukan saat ini," katanya.
"Virus corona ini merupakan musuh yang tidak boleh kita remehkan," ujarnya.
Dr Tegnell belum lama ini mengatakan rapid tes dan pelacakan akan menjadi kunci dalam tahap kedua penanganan pandemi di Swedia.
Menurut Profesor Dillner, para ahli penyakit menular menunggu apakah Swedia siap menghadapi gelombang kedua infeksi COVID-19 pada musim gugur dan musim dingin di Eropa.
"Ini sangat mengkhawatirkan. Tak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi nanti," ujarnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News