REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan masker merupakan salah satu upaya pencegahan penting di masa pandemi Covid-19. Akan tetapi, sebagian orang masih merasa enggan atau bahkan menentang penggunaan masker dengan berbagai dalih. Bagaimana menghadapinya?
Tim peneliti dari Duke University memiliki jawabannya. Menurut peneliti, penolakan dan penentangan terhadap penggunaan masker bisa diredam selama dihadapi dengan empati, bukan penghakiman.
"Penggunaan masker merupakan satu dari sedikit hal yang bisa kita lakukan untuk meredakan pandemi," kata Ketua Kehormatan Layanan Kesehatan RAND Corporation ungkap Dr Robert Brook, seperti dilansir Health 24.
Pengertian dan empati
Salah satu cara untuk membuat orang lain mau menggunakan masker adalah melalui edukasi yang baik. Edukasi ini dapat berupa alasan mengapa penggunaan masker itu penting, bagaimana cara menggunakan, hingga melepas dan membuang makser, sampai kapan waktu yang tepat untuk penggunaan masker.
Bila edukasi sudah dilakukan dan sebagian orang masih menentang penggunaan masker, ada pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk mengubah sikap tersebut. Menurut profesor di bidang marketing dan psikologi Fuqua School of Business dari Duke University Gavan Fitzsimons, pendekatan ini perlu dilakukan dengan pengertian dan empati.
"Banyak orang melihat sebagian panduan kesehatan masyarakat sebagai ancaman langsung terhadap kebebasan mereka," jelas Fitzsimons.
Ketika seseorang merasa kebebasannya terancam, dia akan memberikan respons reaktif. Mereka dapat melakukan banyak hal untuk mengembalikan kebebasan tersebut. Upaya mengubah pemikiran orang-orang ini tak akan bekerja dengan baik bila terlihat sebagai ancaman pula.
Meyakinkan orang-orang skeptis
Agar pendekatan kepada orang-orang anti masker tak dianggap sebagai ancaman, cara berkomunikasi menjadi hal yang sangat penting. Pendekatan ini harus dapat membuat mereka merasa bebas untuk menentukan pilihan.
Sebagai contoh, menurut Fitzsimons, Gubernur Carolina Utara Roy Cooper sempat menyebut orang-orang yang anti masker sebagai orang yang egois. Meski sang gubernur bermaksud baik, memberikan label "egois" pada orang-orang yang anti masker tak akan membuat mereka serta-merta mau menggunakan masker.
Contoh lainnya, penjaga toko sebaiknya menghindari ucapan "Bu, Anda harus menggunakan masker" kepada pengunjung yang tak menggunakan masker. Untuk meminimalisasi penolakan, penjaga toko bisa berkata "Bu, menurut aturan Anda harus menggunakan masker. Kami memiliki tiga tipe berbeda yang semuanya nyaman digunakan. Mana yang mungkin ibu sukai untuk digunakan hari ini?".
Cara seperti mungkin tidak selalu berhasil, tapi dapat membantu. Orang-orang yang merasa kebebasannya terancam cenderung akan mengikuti aturan bila mereka merasa menjadi bagian dari solusi. Oleh karena itu, memberikan pilihan seperti pilihan variasi maskee akan sangat membantu mereka untuk mau menggunakan masker.
Manfaat bukan ancaman
Asisten Profesor di Bidang Kedokteran Keluarga dan Komunitas Duke University Lavanya Vasudevan juga memberikan saran serupa. Vasudevan mengatakan mengatakan ada banyak orang yang yakin bahwa pandemi Covid-19 tidak nyata, atau Covid-19 bukan ancaman bagi mereka karena mereka berusia muda atau alasan lainnya.
Dalam kondisi seperti ini, memberikan pemahaman mengenai manfaat-manfaat penggunaan masker akan jauh lebih baik daripada memberikan ancaman-ancaman.
Suara-suara yang dipercaya
Dampak yang diberikan akan lebih besar bila pendekatan dilakukan oleh orang yang dipercaya. Imbauan yang diberikan di tingkat nasional mungkin akan terasa jauh. Oleh karena itu, keterlibatan tokoh atau sosok yang dipercaya oleh masyarakat juga penting.
Misalnya, tokoh masyarakat atau tokoh keagamaan lokal yang bisa langsung memberikan pendekatan dalam tingkat yang lebih personal sehingga pesannyang disampaikan dapat memberikan dampak yang lebih besar.
"Orang-orang tak suka diberitahu untuk melakukan sesuatu, mereka ingin diberi tahu mengenai apa yang dilakukan oleh teman atau masyarakat di sekitar mereka," kata Vasudevan.