REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Imam al-Mawardi mengatakan bahwa kepemimpinan adalah satu tema yang bertujuan menggantikan kenabian. Fungsinya adalah menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Oleh karena itu, mengangkat pemimpin bagi orang yang tinggal dalam satu negara hukumnya wajib berdasar ijma (kesepakatan) ulama.
Terkait fungsi pertama, yakni menjaga agama, maksudnya adalah memelihara keberlangsungan akidah yang fundamental, syariah yang permanen dan konsisten, dan akhlak yang memesona. Sedangkan terkait fungsi mengatur urusan dunia adalah ikut serta dalam memilih pemimpin dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional.
Jadi memilih pemimpin itu berpahala. Alasannya, pertama, karena menjaga eksistensi kepemimpinan dalam suatu negara dan kekuasaan. Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyah mengatakan bahwa enam puluh tahun di bawah kepemimpinan seorang pemimpin yang zalim itu lebih baik ketimbang satu malam tanpa ada kepemimpinan.
Kedua, dengan adanya kepemimpinan, masyarakat dapat menjalankan perintah Allah SWT, bekerja, belajar. Semua aktivitas ini baru dapat dilakukan apabila negara dalam keadaan aman, tidak ada perebutan kekuasaan, dan masyarakat di level bawah tunduk terhadap pemimpin yang dipilih dengan cara yang sah berdasarkan kesepakatan bersama.
Hanya saja, Nabi SAW berpesan, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang menolong tentu adalah masyarakat yang memilihnya karena menyukainya.
Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.” (HR. Muslim).
Nabi SAW juga mewanti-wanti agar umat Islam tidak memilih pemimin yang lemah, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.” (HR. Muslim).
Padahal dalam sejarah Abu Dzar adalah seorang konglomerat yang dermawan dan taat kepada Allah SWT. Bisa jadi Abu Dzar lemah dalam ilmu pemerintahan karena beliau pengusaha. Jadi dalam perspektif Nabi SAW, kaya raya saja tidak cukup menjadi seorang pemimpin. Apalagi pemimpin yang masih suka berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah SWT.
Untuk itu, memilih pemimpin idealnya adalah seorang ulama sebab nantinya dia akan menjadi ulil amri. Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir ketika menafsirkan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul-(Nya), serta ulil amri di antara kamu” (QS. al-Nisa/4: 59), yang dimaksud ulil amri adalah ulama.
Menurut Imam al-Ghazali dalam Fadhaih al-Bathiniyah, memilih pemimpin hendaknya yang memiliki syarat yang empat. Pertama, najdat, maksudnya memiliki cukup kekuatan dan berwibawa. Kedua, kifayah, yaitu mampu menyelesaikan segala persoalan. Ketiga, wara’, yaitu sikap hidupnya apik. Keempat, ilmu, artinya memiliki ilmu pengetahuan.
Kendati ini menjadi syarat minimal, tampaknya keempat syarat yang dibuat Imam al-Ghazali dapat dijadikan pedoman memilih memimpin di negeri kita mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional. Insya Allah memilih pemimpin dengan empat kualifikasi seperti ini akan membuahkan pahala bagi yang memilihnya.