REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui penggunaan darurat remdesivir untuk pasien Covid-19. Namun studi terbaru mengungkapkan bahwa obat antivirus ini tidak efektif bila diberikan pada pasien Covid-19 bergejala sedang.
Temuan baru ini dimuat dalam studi yang dipublikasikan pada JAMA. Studi ini melibatkan 584 pasien Covid-19 bergejala sedang.
Kelompok pertama terdiri dari sepertiga pasien yang mendapatkan remdesivir selama lima hari. Kelompok kedua merupakan sepertiga pasien lainnya menerima remdesivir dengan rata-rata enam hari. Sisanya merupakan kelompok ketiga yang hanya mendapatkan perawatan standar tanpa pemberian remdesivir.
Pasien di kelompok pertama tampak mengalami perbaikan kondisi setelah mencapai hari ke-11. Akan tetapi, kelompok kedua tidak menunjukkan perbedaan kondisi dibandingkan dengan kelompok ketiga.
Tak hanya itu, tingkat kematian pada kelompok kedua dan ketiga juga tak menunjukkan perbedaan. Kedua kelompok tersebut memiliki tingkat kematian 2 persen.
Dari temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa pasien di kelompok kedua tak memiliki perbedaan status klinis yang signifikan dengan kelompok ketiga yang mendapatkan perawatan standar. Selain itu, pasien di kelompok pertama memang memiliki status klinis yang berbeda secara signifikan dengan kelompok ketiga.
"Tapi perbedaannya merupakan clinical importance yang tidak pasti," jelas tim peneliti, seperti dilansir Mail Online, Jumat (21/8).
Dokter-dokter dari UPMC Health System mengatakan saat ini sudah ada tiga studi terkait penggunaan remdesivir pada pasien rawat inap. Studi dari NIH dan studi dari Cina memiliki hasil yang berbeda.
Perbedaan ini tentu memunculkan pertanyaan. Salah satunya, apakah perbedaan ini disebabkan desain studi yang berebeda atau karena remdesivir tidak seefektif yang diharapkan.
Dalam laporan pada Jumat, pembuat obat remdesivir Gilead Sciences Inc juga mengungkapkan bahwa efek dari obat remdesivir hanya terlihat pada infeksi yang berat.
Selain itu, pada Juni lalu Gilead mengumumkan bahwa mereka akan mengenakan biaya sebesar 2.340 dolar AS untuk lima hari pemberian obat kepada negara-negara berkembang. Peneliti Drs Erin McCreary and Derek C. Angus menilai harga ini tidak sepadan dengan hasil penelitian terbaru mengenai remdesivir.