Rabu 26 Aug 2020 00:55 WIB

Klaim 839 RS Rujukan Pasien Corona Belum Dibayar 

Pembayaran klaim seluruh RS rujukan pasien Covid-19 belum ada yang beres 100 persen.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati / Red: Agus Yulianto
Petugas medis penanganan COVID-19 mengenakan baju Alat Pelindung Diri (APD) ketika berada di ruang isolasi Rumah Sakit rujukan khusus pasien Covid-19. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Septianda Perdana
Petugas medis penanganan COVID-19 mengenakan baju Alat Pelindung Diri (APD) ketika berada di ruang isolasi Rumah Sakit rujukan khusus pasien Covid-19. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mencatat klaim tagihan pelayanan kesehatan pasien virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) di 839 rumah sakit (RS) belum selesai dibayar. Bukan karena otoritas yang tidak mau membayarnya. melainkan rumitnya syarat administrasi yang harus dipenuhi RS dan membuat tagihan dikembalikan lagi atau dispute.

Sekretaris Jenderal Persi Lia Partakusuma mengatakan, dari total 2.475 RS dibawah Persi, sebanyak 839 RS diantaranya yang menangani pasien Covid-19. "Rinciannya 132 RS berdasarkan surat keputusan (SK) Menkes dan 707 RS menggunakan SK Gubernur/Pemda," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (25/8) malam.

Hingga kini, pihaknya mengaku, pembayaran klaim seluruh RS rujukan pasien Covid-19 belum ada yang beres 100 persen karena tagihan terus berjalan.  Kendati demikian, Lia menegaskan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak ingin mangkir membayar utang klaim. Bahkan, pihaknya telah diminta pemerintah segera mengumpulkan klaim-klaim tagihan yang harus dibayar otoritas. 

"Tetapi, rumitnya syarat administrasi membuat banyak yang harus dilengkapi dan itu yang membuat klaim yang sebelumnya kami ajukan jadi dispute atau dikembalikan lagi," kata Lia. 

Dia menyontohkan, saat awal pandemi virus ini, pihak RS rujukan Covid-19 belum diminta fotokopi identitas pasien, tetapi seiring berjalannya waktu dan baru-baru ini Kemenkes menerbitkan aturan baru yang meminta harus ada fotokopi identitas pasien. Padahal, pihaknya hanya mencatat nomor induk kependudukan (NIK) nya dan pasien sudah kembali ke rumah karena di awal-awal belum ada aturan itu.

Akibatnya, pihak RS harus menelusuri lagi identitas pasien lama ini. Dia mengakui, memang pemerintah baru-baru ini mempermudah dengan memperbolehkan menelusuri identitas pasien di kelurahan, tetapi itu menjadi tugas tambahan bagi RS yang bersangkutan karena harus menyediakan sumber daya manusia (SDM) tambahan.

Selain itu, pihaknya mengeluhkan sistem billing atau tagihan yang diajukan RS harus seperti form milik Kemenkes. Padahal, Lia mengaku, setiap RS telah memiliki model form masing-masing.

Pihaknya menyebutkan, ketika peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) ketika akan dioperasi tetapi ternyata terinfeksi virus ini maka tagihan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus dihentikan kemudian dialihkan ke pemerintah yang membayar layanan kesehatan pasien Covid-19.

"Saya tahu pemerintah membuat aturan ini supaya pembayaran klaim tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Tetapi mungkin bisa disederhanakan," katanya 

Jika rumitnya aturan pengajuan klaim tetap diberlakukan, kata dua, akhirnya RS jadi malas mengajukan klaim karena selalu dispute. Meski tidak akan menolak pasien Covid-19, dia khawatir, ini bisa mengakibatkan RS akhirnya menerima pasien Covid-19 yang memiliki asuransi swasta pribadi. Padahal, seharusnya hanya pemerintah yang membayar klaim biaya perawatan pasien Covid-19.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement