REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menolak permintaan pemerintahan AS di bawah Donald Trump agar PBB mengenakan semua sanksi untuk Iran. Penolakan ini disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk PBB, Dian Triansyah Djani, yang saat ini menjabat sebagai presiden DK PBB pada Selasa (25/8).
DK PBB membuat pengumuman tersebut sebagai tanggapan atas permintaan dari Rusia dan China untuk mengungkapkan hasil jajak pendapatnya terhadap pandangan ke-15 anggota dewan tentang tindakan AS. Semua anggota dewan, kecuali Republik Dominika, telah memberi tahu presiden DK PBB bahwa tindakan pemerintah AS itu ilegal karena Trump menarik diri dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama, atau JCPOA, pada 2018.
Djani mengatakan kepada anggota pada akhir pertemuan virtual di Timur Tengah bahwa tidak ada kesepakatan umum di antara anggota dewan. "Setelah menghubungi anggota dan menerima surat dari banyak negara anggota, jelas bagi saya bahwa ada satu anggota yang memiliki posisi tertentu dalam masalah tersebut, sementara ada sejumlah besar anggota yang memiliki pandangan yang bertentangan," katanya dilansir di The National, Rabu (26/8).
Lebih lanjut, Djani menyampaikan, tidak ada konsensus di dewan sehingga dia tidak dalam posisi untuk mengambil tindakan lebih lanjut. Namun, AS melalui Menteri Luar Negerinya, Mike Pompeo, mengkritik keras keputusan DK PBB itu.
Menurut Pompeo, AS memiliki hak hukum untuk menarik kembali sanksi PBB, meskipun Presiden Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam kekuatan besar yang didukung oleh DK PBB. Pompeo datang ke PBB setelah DK PBB dengan tegas menolak resolusi AS untuk memperpanjang embargo senjata PBB atas Iran tanpa batas waktu, yang akan berakhir pada 18 Oktober. Hanya Republik Dominika yang mendukung AS.
Misi AS untuk PBB menyatakan, AS memiliki dasar hukum yang kuat untuk memulai pemulihan sanksi di bawah resolusi DK PBB yang mendukung kesepakatan nuklir 2015. "Fakta bahwa beberapa anggota dewan menyatakan ketidaksepakatan dengan posisi hukum kami dalam pertemuan informal (pertemuan virtual) tidak memiliki efek hukum," kata Misi AS untuk PBB dalam sebuah pernyataan.