Senin 31 Aug 2020 14:32 WIB

Faisal Basri Prediksi Ekonomi Kuartal III Kontraksi 3 Persen

Pemerintah diminta untuk tidak hanya fokus menghindari resesi tetapi juga Covid-19.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Ekonom senior Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga berada pada zona negatif, yaitu kisaran minus tiga persen.
Foto: Republika/ Wihdan
Ekonom senior Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga berada pada zona negatif, yaitu kisaran minus tiga persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Faisal Basri memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga berada pada zona negatif, yaitu kisaran minus tiga persen. Artinya, Indonesia akan mengalami resesi mengingat ekonomi pada kuartal kedua sudah kontraksi 5,32 persen.

Meski demikian, Faisal menekankan, pemerintah tidak perlu takut dan terlalu fokus menghindari resesi. Pemerintah sebaiknya tetap memprioritaskan penanganan penyebaran virus corona (Covid-19). 

Baca Juga

"Jangan target kita tidak resesi pada triwulan tiga. Targetnya, sampai September, benahi virus, sehingga triwulan ketiga biarkan minus," tuturnya dalam diskusi dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (31/8).

Apabila pemerintah hanya fokus untuk menghindari resesi periode Juli sampai September, Faisal cemas, penyebaran virus terus meningkat. Dampaknya, Indonesia masuk dalam resesi berbentuk W (W-shaped). Dalam situasi ini, ekonomi pulih dengan cepat, tapi jatuh ke periode kontraksi kedua dengan cepat juga.

Faisal menuturkan, pemulihan W-shape justru lebih berbahaya bagi ekonomi Indonesia. Kondisi tersebut telah dialami Iran yang kini sudah memasuki gelombang penyebaran Covid-19 ketiga.

Faisal menambahkan, pemulihan W-shape akan membuat potential output terus menurun, seiring dengan merosotnya kepercayaan investor ke pemerintah. "Buat apa kita mengambil risiko huruf W begitu," ucapnya.

Faisal menyebutkan, tidak semua negara di dunia mengutamakan ekonomi. Ia menyebutkan, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, Malaysia dan Thailand kini sudah membuka aktivitas perekonomian setelah dianggap mampu mengendalikan Covid-19.

Di sisi lain, masih banyak negara yang mengalami kenaikan kasus, meski secara terkendali. Di antaranya Italia dan Spanyol yang kini mulai membuka aktivitas sosial dan ekonomi.

Faisal menjelaskan, Indonesia bisa saja melakukan hal serupa. Tapi, syaratnya adalah memperbanyak pengujian, seperti yang dilakukan di Arab Saudi. Dampaknya, mereka dapat lebih cepat mengantisipasi penyebaran virus.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, faktor-faktor risiko yang berpotensi menyebabkan ekonomi pada kuartal ketiga mengalami kontraksi masih terasa nyata. "Pergerakan (indikator ekonomi) belum terlihat sangat solid, meskipun ada beberapa yang positif," ujarnya dalam dalam paparan kinerja APBN secara virtual pada Selasa (25/8).

Sri sendiri memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga berada pada rentang nol persen hingga negatif dua persen (yoy).

Indikator yang dimaksud Sri terlihat pada kembali kontraksinya beberapa jenis pajak. Salah satunya, Pajak Penghasilan (PPh) 21 atau pajak karyawan yang sempat mengalami pertumbuhan positif 12,28 persen pada Juni. Pada bulan lalu, jenis pajak ini kembali tumbuh negatif 20,38 persen.

Begitupun dengan PPh badan yang kontraksi 45,55 persen pada akhir Juli. Padahal, pada Juni, tingkat kontraksinya sudah berada pada level 38 persen. Sri menuturkan, realisasi ini menggambarkan tekanan luar biasa yang masih dialami korporasi Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement