REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konsentrasi rata-rata partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (PM2.5) Kota Bekasi pada periode Januari-Agustus 2020 telah melampaui Jakarta. Ini berdasarkan pemantauan kualitas udara ambien yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dasrul Chaniago dalam diskusi Pojok Iklim di Jakarta, Rabu (2/9), mengatakan berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara ambien dengan air quality monitoring system (AQMS) ternyata terlihat Kota Bekasi memiliki konsentrasi PM2.5 paling tinggi dibanding Jakarta, Bandung, atau Depok pada periode Januari sampai dengan Juli 2020. Sementara Kota Depok memiliki konsentrasi lebih tinggi dari kota lainnya pada Agustus 2020, mencapai 54,12 mikrogram per meter kubik (µg/m³).
Namun, ia mengatakan jika dilihat berdasarkan konsentrasi rata-rata PM2.5 periode Januari sampai dengan Agustus 2020 diketahui Kota Bekasi tercatat ada di urutan pertama mencapai 48,51 µg/m³, dilanjutkan Kota Depok sebesar 34,89 µg/m³, lalu Bandung 31,23 µg/m³, terakhir Jakarta 30,40 µg/m³. Dari grafik hasil AQMS terlihat konsentrasi PM2.5 tertinggi di Kota Bekasi selama periode Januari sampai dengan Agustus terjadi pada Juni 2020 yang mencapai 72,80 µg/m³, sementara di bulan yang sama Jakarta mencapai 41,72 µg/m³.
Konsentrasi PM2.5 Kota Bekasi telah melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperbolehkan dalam udara ambien yakni 65 µg/m³.
Pada periode penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di bulan April 2020 pun konsentrasi PM2.5 Kota Bekasi ada di urutan tertinggi mencapai 44,79 µg/m³, sementara di Jakarta mencapai 27,47 µg/m³, Bandung mencapai 29,72 µg/m³, sedangkan Kota Depok mencapai 31,89 µg/m³.
Dasrul tidak menjelaskan penyebab pasti peningkatan konsentrasi PM2.5 tersebut. Secara umum ia mengatakan kualitas udara ambien sangat dipengaruhi oleh meteorologi, yakni arah angin, kecepatan angin dan curah hujan.
Selain itu, kualitas udara juga dipengaruhi faktor topografi yakni bentang alam. Menurut dia, daerah yang memiliki topografi seperti cekungan di Kota Bandung biasanya polusi udara akan lebih lama "terperangkap", sedangkan bentang alam seperti Jakarta yang merupakan pesisir, polusi udara lebih cepat mengalir.
Faktor terakhir yang, menurut dia, juga mempengaruhi kualitas udara ambien yakni sumber emisi yang terdapat di wilayah setempat. Selain itu, secara umum dua musim yang ada di Indonesia juga turut mempengaruhi kualitas udara. Seperti angin timur yang terjadi di bulan April sampai dengan September biasanya memiliki kondisi kering dan membawa partikel debu lebih banyak, sehingga tren konsentrasi partikel debu udara ambien Jakarta atau Indonesia pada umumnya akan terus meningkat pada bulan-bulan tersebut.
Sementara angin barat yang berhembus pada bulan Oktober sampai dengan Maret, menurut dia, biasanya mengandung banyak uap air dan lebih bersih. Sehingga pada bulan-bulan tersebut Indonesia terjadi musim hujan yang membuat kualitas udara menjadi lebih baik dibandingkan saat terjadi angin timur.