REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) menegaskan penolakannya atas partisipasi Hizbullah dalam pemerintahan baru di Lebanon. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan sikap AS terhadap Hizbullah sudah jelas selama beberapa dekade.
"Kami, di Kementerian Luar Negeri dan di Kongres kami, kami semua sudah jelas tentang pendapat kami selama beberapa dekade sekarang, tentang Hizbullah berada di pemerintahan Lebanon. Kami bukan pihak yang bersedia berurusan dengannya," kata Ortagus kepada Al Arabiya, Kamis (3/9).
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan pemerintah baru di Lebanon harus melakukan perubahan nyata, sedangkan Hizbullah yang didukung Iran harus dilucuti. Dia mengatakan keterlibatan Hizbullah dalam pemerintahan baru Lebanon tidak bisa diterima.
Pompeo mengungkapkan setiap pemerintah baru harus melakukan reformasi signifikan dan perubahan nyata yang diminta oleh rakyat Lebanon. "Dan Amerika Serikat akan menggunakan kehadiran diplomatik dan kemampuan diplomatiknya untuk memastikan bahwa kami mendapatkan hasil itu," tambahnya.
Kehadiran Hizbullah, lanjut Pompeo, justru akan memunculkan risiko. "Jadi orang-orang yang menjadi bagian dari itu atau bermain footsie dengan Hizbullah harus tahu bahwa itu tidak produktif," katanya.
Hizbullah adalah satu-satunya kelompok non-negara yang tetap mempertahankan senjata setelah berakhirnya Perang Saudara 1975-1990. "Semua orang melucuti senjata kecuali Hizbullah. Inilah tantangan yang dihadirkan," kata Pompeo.
Pompeo mengatakan senjata Hizbullah bukanlah yang dibutuhkan keamanan regional. Washington pun berkoordinasi dengan Prancis untuk membantu menyelesaikan masalah Lebanon.
"Saya yakin AS dan Prancis, dan kita semua yang bekerja di lapangan, sama-sama dapat memenuhi kebutuhan mendesak akibat dari ledakan yang terjadi beberapa pekan lalu serta tantangan jangka panjang yang muncul di Lebanon. Kami semua akan mengerjakannya bersama-sama," ujarnya.
Prancis mengusulkan semacam kesepakatan di mana Hizbullah akan menjadi bagian dari pemerintah. Ini merujuk pada kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini ke Beirut. Macron menyusun peta jalan bagi para pejabat Lebanon, yang berkomitmen untuk membentuk pemerintahan baru dalam dua pekan. Macron mengancam akan memberi sanksi jika reformasi tidak dilaksanakan setelah jangka waktu tertentu.