REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan tidak mudah menjalankan presidensi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) di tengah pandemi. Apalagi ada rivalitas dan pembelahan posisi negara anggota DK PBB di hampir semua isu.
"Kita telah tunaikan tanggung jawab presidensi tersebut dengan baik," kata Retno dalam temu media secara virtual, Jumat (4/9).
Meski dengan keterbatasan, Retno menegaskan, Indonesia selama memegang presidensi DK PBB pada Agustus terus menjalankan peran sebagai jembatan dan mengedepankan inklusifitas serta transparansi. Presidensi Indonesia dijalankan dengan menghormati dan menjaga nilai-nilai dan prinsip hukum internasional.
Selama menjalankan presidensi DK PBB, Indonesia telah mengesahkan empat resolusi. Salah satu yang mendapatkan sorotan adalah rancangan mengenai Penjaga Perdamaian Perempuan. Resolusi ini berhasil diadopsi secara konsensus pada tanggal 28 Agustus 2020 sebagai Resolusi DK PBB nomor 2538.
Resolusi ini disponsori oleh 97 negara anggota PBB, termasuk seluruh negara anggota DK PBB. Ini merupakan resolusi pertama yang diprakarsai oleh Indonesia sepanjang sejarah keanggotaannya di DK PBB. Resolusi ini juga merupakan resolusi pertama DK PBB yang secara khusus membahas peran pasukan perempuan dalam misi pemeliharaan perdamaian.
Sementara tiga resolusi lainnya adalah Resolusi perpanjangan mandat misi pemeliharaan perdamaian di Lebanon (UNIFIL), Resolusi perpanjangan mandat misi pemeliharaan perdamaian di Somalia (UNSOM), dan Resolusi perpanjangan rezim sanksi di Mali. Hanya ada satu resolusi yang tidak dapat disahkan akibat veto.
Resolusi usulan Indonesia mengenai penanggulangan terorisme mendapat dukungan 14 negara anggota DK PBB. Namun resolusi itu tidak dapat disahkan karena veto oleh satu negara dan sangat disesalkan oleh anggota DK PBB lainnya.
"Indonesia tetap berkomitmen untuk terus mendorong DK PBB memajukan pendekatan komprehensif dalam memerangi terorisme," kata Retno.