REPUBLIKA.CO.ID, ANDALUSIA -- Walladah merupakan penyair Muslimah terkenal di Andalusia. Kehadiran Walladah menunjukkan Muslimah pada masa dinasti Ummayah bisa sehebat laki-laki dalam menghadirkan karya. Bisa disebut Walladah adalah peletak dasar sastra Muslimah Andalusia. Dia memunculkan murid-murid penyair Muslimah berbakat lainnya. Salah satunya, Muhyah binti Al Tayyani yang diangkat Walladah dari seorang budak menjadi penulis termasyhur Andalusia.
Walladah lahir pada 994 Masehi. Walladah merupakan seorang putri dari Muhammad III Cordoba. Ayahnya merupakan salah satu raja terakhir dari khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada 1024. Muhammad III menjadi khalifah setelah pendahulunya Abdar Rahman V wafat dalam kerusuhan. Muhammad III tak memiliki keturunan laki-laki sebagai ahli warisnya. Untuk itu, Walladah dipersiapkan menjadi pengganti pemimpin kerajaan.
Muhammad III menyiapkan semua bekal untuk Walladah menggantikannya. Dia pun diberikan pelajaran-pelajaran tentang kepemimpinan, sastra, strategi sejak kecil. Dia menjadi wanita yang diberi ilmu spesial dibanding Muslimah pada zamannya.
Walladah mendapatkan pendidikan yang tinggi, melek huruf, dan mempelajari sastra. Dia tumbuh menjadi gadis cantik dengan rambut pirang, berkulit putih, dan bermata biru. Walladah lebih tertarik pada bidang sastra, utamanya puisi. Semua akses yang diberikan ayahnya dalam pelajaran sastra dimanfaatkan Walladah untuk memperdalam ilmunya.
Walladah pun akhirnya membuka sekolah sastra di Istana Cordoba. Dia menjadi guru seni dan puisi. Dia mencari sendiri murid-murid dari kalangan tidak mampu dan budak. Sekolahnya tumbuh pesat. Penyair besar dan cendekiawan Muslim Andalusia sering mengunjunginya untuk bertukar ilmu.
Walladah diakui sebagai penyair yang sangat hebat. Sebuah kebiasaan di Cordoba, setiap penyair harus bersaing untuk menyelesaikan puisi lengkap. Walladah memiliki kemauan yang keras dan keterampilannya diakui ketika harus bersaing dengan penyair lain yang sebagian besar merupakan laki-laki.
Dia menjadi sangat terkenal ketika Walladah berani membacakan satir tajamnya di hadapan penyair laki-laki. Walladah pun dikenal sebagai kebangkitan kekuatan wanita di masyarakat Muslim.
Salah satu karyanya yang menonjol bernuansa romansa. Inspirasinya dia alami sendiri dari hubungan dengan laki-laki sesama penyair Ibnu Zaydun. Namun, hubungannya dengan Zaydun sangat rumit. Zaydun merupakan penyair yang memiliki pandangan tajam terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Zaydun berasal dari Bani Yahwar yang dianggap musuh politik Bani Umayyah. Karena itulah, hubungan mereka dijalin secara rahasia.
Kisah cinta Walladah dan Zaydun begitu tampak dari karya-karya Walladah yang masih disimpan hingga kini. Puisinya menyiratkan tentang cinta, keinginan untuk bersatu, perselingkuhan, dan kecemburuan. Delapan dari sembilan karya Walladah yang masih disimpan ditengarai berbicara tentang hubungannya dengan Zaydun.
Cinta yang sembunyi-sembunyi ini pun akhirnya kandas karena pihak ketiga. Walladah menulis dalam puisinya ada wanita dari “kegelapan” yang lebih dipilih oleh Zaydun. “Kamu tahu saya adalah bulan gemintang di langit. Namun di antara aib-aib, kamu lebih memilih sang planet gelap.”
Lepas dari Zaydun, Walladah menjalin hubungan dengan Ibnu Abdus, seorang menteri dari Dinasti Umayyah. Walladah pun kembali ke kehidupan istana sampai akhir hayatnya.
Walladah meninggal pada 1091 Masehi tepat ketika melarikan diri saat kotanya diduduki oleh tentara Barbar.
Beberapa puisinya yang masih disimpan sampai saat ini, di antaranya Aku khawatir terhadapmu, kekasihku begitu besar kekhawatiranku, bahkan ketika aku memandang di mana kamu melangkah saat waktu telah habis mengancam untuk merebut dariku. Walaupun aku dapat menyembunyikan rahasia darimu hingga hari kiamat, ketakutanku tetap tidak akan dapat disembuhkan.