REPUBLIKA.CO.ID, KARBALA— Setiap tahunnya, Syiah rutin memperingati kematian cucu Nabi Muhammad, Husain dengan melakukan berdiam diri (nyepi) selama 50 hari. Hari kematian Husain sendiri disebut Asyura, yang jatuh pada hari kesepuluh Muharram.
Edith Szanto, asisten profesor bidang studi agama di Universitas Alabama, dalam penelitiannya yang berfokus pada tempat suci Syiah dan ritual tahunan Syiah selama Muharram, mengatakan ritual ziarah dan kota Karbala sendiri telah mengalami banyak perubahan selama lebih dari 1.000 tahun. Dan tahun ini, kota suci dihadapkan pada tantangan Covid-19.
Bagi Syiah, masa berkabung ini selalu diakhiri dengan ziarah ke Karbala di Irak. Ziarah ini, dalam beberapa tahun terakhir, menjadi pertemuan orang terbesar di dunia. Hari Asyura tahun ini jatuh pada 30 Agustus, dan masa berkabung berakhir pada 9 Oktober. Karbala merupakan sebuah kota yang terletak di barat daya Baghdad yang merupakan tempat suci bagi Muslim Syiah di Irak.
Karbala adalah tempat di mana cucu Nabi Muhammad, Husain, dibunuh selama apa yang dikenal sebagai Pertempuran Karbala pada tahun 680 M. Menurut Syiah, Husain dan orang-orangnya menjadi martir dalam pertempuran ini pada hari Asyura.
Setelah kematian Nabi Muhammad SAW pada 632 M, terjadi perselisihan tentang siapa yang akan menjadi ahli waris yang sah. Sunni, yang merupakan mayoritas Muslim, percaya bahwa Abu Bakar, teman dan ayah mertua Rasulllah, merupakan orang yang tepat untuk menggantikan sang nabi. Sedangkan Syiah percaya bahwa Ali, sepupu dan menantu Muhammad, yang seharusnya menjadi penerusnya.
Setelah bertahun-tahun perang saudara, serta perang ekspansi, Dinasti Umayyah Arab menetapkan kekuasaannya atas wilayah tersebut, dari Timur Tengah hingga Afrika Utara dari 661 hingga 750 M.
Saat itu Husain diundang penduduk Kufah, yang merupakan kota garnisun dekat Najaf, untuk datang dan memimpin mereka dalam pemberontakan melawan Khalifah Umayyah di Damaskus. Namun pasukan Umayyah mampu memadamkan kerusuhan di Kufah dan membunuh Hussain beserta anak buahnya di dataran gurun Karbala.
Bagi Syiah, Husain adalah imam ketiga mereka, seorang pemimpin duniawi dan spiritual karena memiliki hubungan langsung dengan Muhammad secara status dan otoritas. Setelah kematian Husain, sebuah makam segera dibangun yang menarik dan dijadikan sebagai situs suci.
Di sisi lain, ritual berkabung Muharram, baik di Karbala atau di tempat lain, telah digunakan untuk tujuan politik. Kadang-kadang, praktik Muharram disponsori para penguasa yang berusaha mendapatkan dukungan rakyat. Akibatnya, protes komunitas anti pemerintah bermunculan, dan bermunculannya larangan dan pembatasan ziarah ke Karbala.
Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Mutawakkil, seorang khalifah dari Dinasti Abbasiyah, yang memerintah kerajaan Islam yang luas dari abad kedelapan hingga ke-13. Kekhawatiran bahwa ritual tersebut dapat mengobarkan semangat anti-rezim, membuatnya memutuskan untuk menghancurkan makam itu pada 850 M dan melarang ziarah ke Karbala.
Karbala dan Najaf, tempat dikuburkannya Ali bin Abi Thalib, semakin penting pada abad ke-16 dengan berdirinya negara Syiah di Persia, yang sekarang disebut Iran, di bawah Shah Ismail I. Sejak saat itu, kota-kota tempat suci Irak menarik semakin banyak peziarah.
Banyak peziarah membawa jenazah kerabat mereka ke sana atas dasar keyakinan bahwa dengan dimakamkan di dekat Ali atau Hussain, maka almarhum dapat berdiri di depan Tuhan pada Hari Penghakiman, dengan Ali atau Hussain yang akan memohon belas kasihan Tuhan untuk memungkinkan jiwa orang tersebut masuk surga. Hal ini telah menyebabkan "Wadi al-Salam", bahasa Arab untuk "Lembah Damai", di Najaf menjadi salah satu pemakaman terbesar di dunia, yang menampung hingga 5 juta mayat.
Pengangkutan dan penguburan jenazah menyediakan lapangan kerja bagi banyak lapisan masyarakat di Najaf dan Karbala. Biaya lebih tinggi dikenakan dari mereka yang ingin lebih dekat dengan Ali atau Hussain di situs pemakaman. Namun pada awal abad ke-20, Pemerintah Ottoman melakukan pembatasan dan pengontrolan jumlah jenazah yang masuk, mengingat mewabahnya kolera di Persia saat itu.
"Meski telah dibatasi, saat itu jumlah jenazah yang masuk masih dibilang tinggi, sekitar 20 ribu jenazah setiap tahun. Dan saat ini, sekitar 100 jenazah orang dibawa untuk dimakamkan di Najaf setiap tahunnya," jelas Szanto yang dikutip di Religion News, Kamis (10/9).
Bukan hanya dijadikan situs pemakaman favorit. Setiap tahunnya, ribuan bahkan jutaan Muslim berbondong-bondong mendatangi Karbala dan Najaf untuk berziarah. Pada 2004, lebih dari 2 juta jamaah datang ke Karbala. Sejak itu, ziarah ke Karbala bahkan melampaui jumlah haji, yang setiap tahun menarik antara 2 dan 3 juta peziarah.
Tahun ini, ketakutan akan penyebaran Covid-19 telah sangat membatasi jumlah peziarah sekaligus jemaah haji. Hanya sejumlah kecil Muslim yang sudah berada di Arab Saudi yang diizinkan untuk hadir. Sebagai tindakan pencegahan, Ayatollah Ali al-Sistani, seorang pemimpin tertinggi Syiah Irak, mendorong para pengikutnya untuk memperingati Asyura di rumah, daripada mengunjungi Karbala.
Untuk memperingati Asyura tahun ini, Syiah berkumpul di Najaf dan Karbala, tetapi dalam skala yang jauh lebih kecil, dan penerapan jarak sosial. Meski begitu tidak semua tempat memberlakukan protokol kesehatan, dilihat dari masih adanya peziarah yang tidak memakai masker.
"Dengan tidak adanya tindakan tegas, jumlah infeksi di Irak terus melonjak. Kelanjutan sikap pemerintah untuk menanggapi dengan kebijakan yang lebih ketat untuk haji pada awal Oktober masih harus dilihat," ujar Szanto.