REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Hadi Saputra*
Pembaca yang kreatif, saya yakin kita memahami bahwa kesuksesan itu diraih tidak dengan sendirinya. Orang sukses itu mestilah ada orang-orang yang terlibat, baik kita rasakan secara langsung maupun tidak. Orang-orang itulah yang selalu mendukung kita selama ini. Mereka sibuk memberikan pikirannya, biaya, bahkan waktunya untuk kita.
Namun terkadang ego membuat kita melupakan itu dan mengatakan kesuksesannya adalah jerih payah kita sendiri. Inilah sebenarnya pembelajaran hidup. Masa Covid-19 ini kita butuh kolaborasi. Karena perkuliahan daring itu mudah bagi yang sudah terbiasa dengan infrastruktur memadai.
Namun menjadi tantangan bagi sebagian orang agar tetap lancar dan bersemangat mengikutinya. Ketika pelatihan super unggul untuk mahasiswa baru secara daring, saya tertarik dengan background di layar seorang mahasiswa baru Prodi Hubungan Internasional yang bernama Siti Nurasiyah. Pada saat pelatihan daring itu, terlihat dia berada di sekitaran masjid yang ternyata itu di dekat pasar.
Masjid ini berjarak tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Betapa susahnya sinyal 3G/4G yang dia peroleh. Namun itu semua tidak menjadi hambatan. Kadang jika ada tugas yang harus diberikan, dia mengatakan di WhatsApp Group, bisakah saya yang memulai terlebih dahulu mumpung saya masih di sini (di sekitaran masjid).
Pembaca yang kreatif, ketika bersama sahabat saya, Dr Agus Kurniawan, kepala sekolah SMA Daarut Tauhid Bandung, Jawa Barat, dalam acara EduTalk di channel Youtube, kami berbagi inspirasi dan sampai pada kesamaan pandangan bahwa tujuan pembelajaran itu mengharapkan adanya perubahan. Tidak tahu menjadi tahu. Tidak paham menjadi paham. Tidak bisa menjadi bisa.
Dr Agus mengatakan bahwa perubahan itu bisa terjadi bila ada empat konsep perubahan yang bisa dilakukan. Pertama, keteladanan. Keteladanan yang diharapkan muncul itu tidak hanya dari kepala sekolah dan pengelola pendidikannya saja. Namun dari guru, tenaga kependidikan, orang tua, bahkan masyarakat sekitar.
Kedua, adanya pendidikan, pelatihan dan pembinaaan yang terus menerus. Ketiga, adanya lingkungan kondusif. Karena kesuksesan adalah akumulasi dari kerja sama stakeholder (sekolah, keluarga, masyarakat) yang terlibat dalam menghasilkan keberhasilan bersama menuju kualitas pendidikan yang diharapkan.
Keempat adalah nilai-nilai spiritual yang selalu ditanamkan. Keempat hal itu dapat terjadi jika adanya kebersamaan dan melekatnya peran sekolah dan orang tua.
Pembaca yang kreatif, kohesivitas itu ada yang kuat, lemah dan tidak kohesif. Kohesivitas yang kuat adalah yang paling tinggi kualitas hubungannya.
Menunjukkan kepedulian dari keluarga dalam proses pendidikan anak di sekolah. Keluarga memberikan dukungan secara konkret terhadap program-program sekolah.
Sehingga energi positif orang tua menyatu dengan energi guru untuk mengantarkan siswa menjadi pelajar yang sukses. Kohesivitas lemah menunjukkan adanya kesamaan visi antara sekolah dan keluarga. Namun masih mengharapkan sekolah yang seharusnya memikirkan program yang dilakukan.
Memasrahkan sepenuhnya kepada sekolah apa dan bagaimana proses pembelajaran itu berlangsung. Hal ini biasanya disebabkan kesibukan orang tua dalam pekerjaan dan bisnis serta aktivitas yang tinggi di luar rumah.
Pembaca yang kreatif yang paling dikhawatirkan adalah tidak kohesif. Ini adalah kualitas hubungan paling rendah dalam menyiapkan anak menjadi orang yang sukses dan bermanfaat untuk orang lain. Hubungan ini menunjukkan beda pandangan orang tua, bahkan menarik arah yang berbeda dengan program sekolah. Sehat dan sukses selalu.
*Kaprodi Ilmu Komunikasi dan Direktur Kehumasan dan Urusan Internasional, Universitas Amikom Yogyakarta