REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, ada kekosongan regulasi dalam UU No 10 tahun 2016 dan yang sebelumnya. Khususnya yang tidak mengatur protokol kesehatan, sanksi dan pidana menyoal pilkada serentak 2020 di tengah pandemi.
"Dalam PKPU No.6 Tahun 2020 memang kita temukan, tapi itu juga tidak mengatur sanksi yang jelas," ujarnya dalam diskusi daring "Kampanye Pilkada ditengah Virus Corona", Sabtu (19/9).
Padahal, sanksi menurutnya menjadi faktor penting dalam penyelesaiannya. Ratna menambahkan, jika ada sanksi tegas yang diberlakukan, pembubaran atau pelarangan paslon untuk mengikuti pilkada berikut bisa dilakukan. Alih-alih, dari sanksi saat ini yang hanya berupa teguran.
"Jika kita memilih melanjutkan Pilkada, ada dua opsi tindak pidana umum yang harus diperkuat, pertama menegakan sanksi tegas," katanya.
Sehingga, pihak Kepolisian ia sebut harus bisa menegakkan sanksi tersebut. Sedang opsi kedua, adalah aturan dalam UU yang diperjelas. Dirinya beranggapan, Satgas Covid-19 dan lembaga terkait harus membantu Bawaslu dengan UU yang digunakannya. Walaupun, memang ada batasan kewenangan.
"Contohnya di Sumut ada paslon yang dinyatakan positif tapi malah datang langsung ke tempat pendaftaran," ujarnya.
Dia menegaskan, dalam rapat koordinasi yang dilakukan, penegakan hukum menjadi hal yang paling penting. Mengingat, masa kampanye, pungut hitung suara dan lainnya yang besar kemungkinan masih akan dipenuhi massa.
Untuk mengantisipasinya, Bawaslu ia sebut telah menginisiasi pertemuan dengan DKPP, Kemendagri, Satgas covid dan TNI/Polri. Dalam forum itu, ada persetujuan membentuk pokja lintas lembaga untuk menjadi percepatan informasi pelanggaran protokol kesehatan.
"Utamanya mengenai pelanggaran kerumunan masa," ucapnya.