REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Palestina memutuskan mundur dari kursi ketua pertemuan Liga Arab. Hal itu dilakukan sebagai tanggapan atas keputusan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain menjalin normalisasi diplomatik dengan Israel.
"Palestina telah menyerahkan haknya atas memimpin dewan (menteri luar negeri) Liga (Arab) pada sesi saat ini. Tidak ada kehormatan melihat orang Arab terburu-buru menuju normalisasi selama masa kepresidenannya," kata Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki pada Selasa (22/9), dikutip laman Aljazirah.
Dalam pernyataannya, dia tak menyinggung secara eksplisit UEA dan Bahrain. Al-Maliki mengatakan Palestina telah memberi tahu Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengenai keputusannya. Palestina seharusnya memimpin pertemuan Liga Arab selama enam bulan ke depan.
Awal bulan ini, Palestina gagal membujuk Liga Arab untuk mengutuk negara-negara yang melakukan pelanggaran dengan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Palestina memandang langkah itu sebagai sebuah pengkhianatan.
Pada 15 September lalu, Netanyahu, Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid Al Zayani, dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Abdullah bin Zayed menandatangani perjanjian damai di Gedung Putih. Presiden AS Donald Trump turut menyaksikan proses penandatanganan bersejarah tersebut.
Trump mengapresiasi keputusan UEA dan Bahrain untuk melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Menurutnya hal itu akan mengakhiri perpecahan dan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade di kawasan. Kesepakatan normalisasi dipandang bakal membawa "fajar baru Timur Tengah".
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan penandatanganan perjanjian normalisasi Israel dengan Bahrain dan UEA merupakan "hari kelam" dalam sejarah bangsa Arab. "Hari ini akan ditambahkan ke kalender penderitaan Palestina dan kalender kekalahan Arab, karena memberikan pukulan maut kepada Inisiatif Perdamaian Arab serta solidaritas Arab," ujarnya.