REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai dokumen mozaik pencerah yang tercecar, buku menjadi sumber rujukan. Buku adalah titik tolak merajut imajinasi lantas meretas realita. Terhadap bangsa-bangsa yang pernah menjadi mercusuar dalam sejarah, buku memiliki peran organik.
Bangsa Yunani, misalnya, keluar dari halusinasi mitologi menuju babak pencerahan “logos” atau ilmu pengetahuan setelah para filsuf di negeri yang kala itu belum menjadi pusat peradaban mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam lembaran-lembaran. Maka, lahirlah filsuf yang menjadi legenda ilmu pengetahuan dan hingga kini masih menjadi rujukan, seperti Socrates, Plato, maupun Aristoteles.
Mustafa Siba’i (1915) di dalam bukunya, Min Rawaih Hadharahtina, menerangkan, transformasi peradaban Islam ke Eropa pada Abad Pertengahan bermula dari semangat perbukuan. Kala itu, buku-buku yang ditulis para ulama Islam menjadi referensi setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Prancis, dan Spanyol sehingga bisa dibaca orang-orang Barat.
Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial dan juga fisikawan Prancis, mengatakan, berkat terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku sains, perguruan tinggi Eropa berjaya selama lima hingga enam abad. Mereka mengambil rujukan dari Baghdad hingga Andalusia.
John Freely di dalam bukunya, Cahaya dari Timur (2011), berkesimpulan, Barat yang hari ini maju pesat dan menjadi pusat ilmu pengetahuan berutang budi pada umat Islam. Berkat kemurahan umat Islam yang merelakan buku-bukunya diterjemahkan, Barat bisa bertransformasi.