REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia pers memiliki perjalanan yang panjang dengan beragam tantangan-tantangan. Buku "Jungkir Balik Pers" menggambarkan kondisi dunia jurnalistik baik di dunia atau Indonesia, termasuk yang terjadi saat pandemi.
Buku karya Nasihin Masha ini menggambarkan kisah dunia pers yang ditangkap dan dituliskan dengan sudut pandang penulis. Pemimpin Redaksi Republika 2010-2016 ini menilai, buku karyanya bisa menjadi pemantik berbagai diskusi mengenai dunia pers di masa pandemi.
Nasihin mengatakan, ada beberapa isu yang bisa didiskusikan melalui buku ini. Pertama adalah sisi konten, mengenai bagaimana pers melihat virus corona ini dan apa saja yang ditulis atau diliput.
"Lalu bagaimana sudut pandangnya, politik pemberitaannya," kata Nasihin, dalam Bedah Buku Jungkir Balik Pers dan Seminar Nasional Jurnalisme di Masa Pandemi Covid-19 yang digelar Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media (P2KM) UIN Jakarta bekerja sama dengan Penerbit Republika, Kamis (8/10).
Selanjutnya, ia juga membahas mengenai bagaimana kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi. Apakah pemerintah lebih condong ke arah ekonomi atau kesehatan masyarakat. Dari hal ini, menurutnya bisa didiskusikan bagaimana pers melihat kecondongan ini dan memposisikan diri.
Nasihin juga membahas mengenai isu-isu pers menghadapi pandemi. Dewan Pers bahkan membentuk sebuah lembaga yang melakukan survei dan mendata yang terjadi, baik itu untuk radio, cetak, TV, dan media daring.
"Mulai dari koran mengurangi jumlah jalaman, mengurangi hari kerja, mengurangi karyawan, dan bagaimana dampak corona itu luar biasa," kata Nasihin menjelaskan.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Andi Faisal Bakti mengatakan di dalam buku ini dapat terlihat betapa pers harus jungkir balik akibat disrupsi yang terjadi. Namun, disrupsi dan perubahan menurutnya memang akan selalu ada.
"Kita harus selalu siap untuk disrupsi itu, kita harus hidup dari satu perubahan ke perubahan yang lain," kata Andi, saat menjadi pembicara kunci.
Sementara itu, Pakar Komunikasi UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto yang menjadi penanggap mengatakan buku ini baik untuk dikonsumsi sebagai bagian dari literasi, baik itu literasi media dan literasi politik. "Ini patut diapresiasi. Saya pikir ini kontribusi yang sangat baik dari pelaku pers, yang tentu karyanya sebagai jurnalis senior patut dibaca, diapresiasi, dan dikritisi," kata dia.
Gun Gun melihat, ada tiga arti penting kehadiran buku ini. Pertama, buku ini bisa dipandang sebagai memoar jurnalis. Menurutnya, sebagai jurnalis senior, Nasihin tentu sudah melalui berbagai pengalaman.
"Ada tiga bab di sini, saya pikir tiga bab ini banyak membingkai ragam peristiwa yang terjadi," kata Gun Gun.
Selanjutnya, buku ini mengandung intersubjektivitas. Jika diambil benang merah, Gun Gun melihat adanya gambaran bahwa media sebagai entitas sosial, bisnis, sekaligus politik. Ketiga hal itu menjadi benang merah narasi yang menurutnya dicoba disodorkan oleh penulis.
Hal ketiga mengenai buku ini adalah adanya ruang perspektif dalam pergulatan membaca wacana media yang kompleks. Ia menggambarkan, narasi yang disajikan penulis menggambarkan media adalah pergulatan dan pertarungan.
"Kadang-kadang Pak Nasihin juga menyatakan bahwa media adalah realitas konflik, ada ketimpangan, dan lain-lain. Meskipun saya lihat teksnya terpengaruh oleh karakter penulis yang lebih halus, kadang implisit," kata dia lagi.
Pandangan lain hadir dari Presiden Komunitas Jurnalis Berhijab (KJB) Indonesia, Nikmatus Sholikah. Sebagai seseorang yang pernah berkecimpung di dunia jurnalistik, Nikmatus menilai buku ini menggambarkan fungsi jurnalis di masa krisis.
"Di buku ini, masyarakat bisa lebih memahami fungsi jurnalis. Garda terdepan bukan hanya tenaga kesehatan tapi juga jurnalis. Jadi jurnalis ini perlu diberi atensi dengan berbagai tantangan yang dihadapi," kata Nikmatus.