REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Kepala Divisi Riset Direktorat Intelijen Militer Israel, Brigadir Jenderal Dror Shalom, menyampaikan ada dua ancaman yang dihadapi Israel. Dua ancaman itu ialah Iran dan kemungkinan runtuhnya Otoritas Palestina.
Shalom mengatakan, ancaman terorisme meningkat terutama ketika kaum muda di Yudea dan Samaria, di Tepi Barat, tidak dapat mencari nafkah di tengah pandemi virus corona dan dampak ekonominya. Dia menekankan, ada tiga hal yang berkontribusi menjaga stabilitas, yaitu tentara Israel, situasi ekonomi yang baik, dan koordinasi keamanan dengan Palestina sebelum ditangguhkan.
Meski Israel menandatangani dua perjanjian damai dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, lanjut Shalom, perjuangan Palestina justru menjadi bom waktu. Dia juga mengingatkan, perjuangan Palestina adalah untuk menyatukan negara-negara Arab. Sedangkan dua perjanjian damai itu ditandatangani untuk menunda rencana mencaplok bagian Tepi Barat.
"Memberdayakan Otoritas Palestina adalah demi kepentingan keamanan Israel," kata Shalom, memperingatkan bahwa orang Arab masih membenci Israel dan situasi di kawasan Teluk itu harus diperbaiki, dilansir di Asharq Al-Awsat, Ahad (11/10).
Soal situasi di Jalur Gaza, Shalom mengungkapkan, situasi di sana tetap menjadi tantangan, bahkan eskalasinya bisa meningkat. Dia mencatat, empat tahun lalu intelijen Israel mengeluarkan peringatan strategis di Jalur Gaza. Apalagi, ada krisis ekonomi sipil di Gaza, yang akan mendorong Hamas untuk mengubah kebijakannya.
Menurut Shalom, kepala Hamas di Jalur Gaza Yahya Sinwar adalah jenis pemimpin berbeda yang tertarik untuk menunjukkan keberhasilannya dalam membangun kembali Gaza. Sinwar tidak mencari perang di Jalur Gaza dan Hamas sepenuhnya menyadari kekuatan Israel.
Shalom mengindikasikan bahwa Tel Aviv berhasil mendorong Hamas ke dasar tanah tanpa terlibat perang. Menurutnya, mempertahankan situasi saat ini di Gaza terbilang menguntungkan sehingga Israel dapat fokus pada Iran.
Mengenai Iran, Shalom mengatakan, sejauh ini penarikan AS dari kesepakatan nuklir tidak menguntungkan kepentingan Israel. Dia mendukung strategi menekan Teheran. Ia juga melihat Iran sebagai negara adidaya telah melemah. Strategi AS di masa depan di antaranya memberikan tekanan maksimum hingga mencapai kesepakatan.
Iran mampu memiliki bom nuklir dalam waktu dua tahun sejak keputusan untuk membangunnya. Kemampuan Iran seperti ini membuat Shalom khawatir, mengingat durasi pembangunan bom nuklir itu tidak lama.