Dokter asal Lebanon berusia 40 tahun itu sudah lama bekerja di Jerman dan lulus ujian naturalisasi dengan baik. Namun saat penyerahan akta kewarganegaraan, dia menolak berjabat tangan dengan petugas perempuan yang menyerahkan akta itu. Petugas itu lalu membatalkan pemberian akta tersebut dan menolak permohonan kewarganegaraannya.
Peristiwa itu terjadi tahun 2015. Pria itu lalu menggugat ke Pengadilan Tata Usaha. Setelah gagal di pengadilan tingkat kota di Stuttgart, dia mengajukan banding ke pengadilan negara bagian Baden Württemberg di Mannheim. Pengadilan Tata Usaha di Mannheim hari Jumat (16/10) memutuskan menolak gugatannya dan menguatkan putusan instansi di bawahnya.
Pengadilan mengatakan, permohonan kewarganegaraan dari seseorang yang menolak berjabat tangan dengan perempuan atas alasan budaya atau agama bisa ditolak. Permohonan kewarganegaraan juga tetap ditolak, meskipun pria itu sekarang mengatakan bahwa dia juga tidak akan berjabat tangan dengan pria.
Tolak jabat tangan karena "sudah janji pada istri"
Dokter Lebanon berusia 40 tahun itu datang ke Jerman tahun 2002 dan sudah bekerja di sebuah klinik. Tahun 2012 dia mengajukan permohonan menjadi warga negara Jerman, dan lulus ujian naturalisasi dengan skor terbaik. Dia juga menandatangani deklarasi taat kepada konstitusi Jerman dan menolak ekstremisme.
Namun saat penyerahan akta kewarganegaraan pada tahun 2015, pria itu menolak berjabat tangan dengan petugas perempuan yang akan menyerahkan dokumen naturalisasi, dengan alasan agama. Petugas itu lalu menahan akta kewarganegaraannya dan menyatakan batal memberikan naturalisasi.
Pria itu kemudian beralasan bahwa dia sudah berjanji kepada istrinya untuk tidak berjabat tangan dengan perempuan lain, tetapi permohonannya tetap ditolak. Dia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha tingkat kota di Stuttgart, namun gugatan itu ditolak. Dia kemudian naik banding dan menggugat ke pengadilan negara bagian di Mannheim.
Penolakan jabat tangan melanggar "prinsip kesetaraan gender"
Pengadilan Tata Usaha di Mannheim sekarang memutuskan, petugas administrasi berhak menolak permohonan naturalisasi penggugat. Dalam argumentasinya pengadilan menulis, penolakan berjabat didasari oleh "konsepsi budaya dan nilai" yang melihat perempuan "sebagai ancaman godaan seksual". Dengan penolakan itu, penggugat berarti telah menolak berintegrasi "ke dalam kondisi kehidupan di Jerman".
Pengadilan menggambarkan jabat tangan sebagai "salam non-verbal yang umum", terlepas dari jenis kelamin pihak-pihak yang terlibat. Praktik tersebut sudah ada sejak berabad-abad lalu. Hakim juga mengatakan bahwa jabat tangan memiliki makna simbolis persetujuan atau kesepakatan dalam membuat perjanjian.
Karena itu, jabat tangan sudah "berakar dalam pada kehidupan sosial, budaya dan hukum, yang membentuk cara kita hidup bersama," kata hakim. Seseorang yang menolak berjabat tangan dengan alasan khusus gender melanggar prinsip kesetaraan yang tertera dalam konstitusi Jerman.
Pengadilan juga mengatakan, fakta bahwa pria itu sekarang menyatakan dia juga tidak akan berjabat tangan dengan pria juga, tidak mengubah pandangan pengadilan.
hp/pkp (dpa, afp, epd)