REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Puluhan loyalis pemerintah dan kerajaan Thailand menggelar unjuk rasa tandingan. Mereka menyuarakan pesan-pesan yang bertentangan dengan gelombang demonstrasi anti-pemerintah yang terjadi beberapa bulan terakhir.
Kelompok pro kerajaan juga mendesak loyalis turun ke jalan selama tujuh hari setiap pukul 16.00 waktu setempat. Para loyalis mengatakan mereka tidak masalah demonstran meminta Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mundur. Tapi jangan sentuh Raja Maha Vajiralongkorn.
"Saya mohon, apapun yang kalian lakukan, jangan sentuh monarki, saya tidak percaya pada kekerasan, saya mohon sekali lagi, jangan bawa monarki ke politik," kata seorang pendukung kerajaan, Sirimongkol Ruampan, Rabu (21/10).
Sebagian besar pro kerajaan mengenakan pakaian warna kuning yang menjadi simbol kerajaan. Mereka mengatakan unjuk rasa mereka tidak politis dan tidak untuk melanggar larangan berkumpul lebih dari lima orang yang ditetapkan pemerintah.
Juru bicara kepolisian Thailand Yingyos Thepjumnong mengatakan kelompok pro-Kerajaan akan diperlakukan sama dengan pengunjuk rasa anti-pemerintah. Ia mengatakan polisi siap dengan kejutan setiap hari.
"Kami harus menyeimbangkan penegakan hukum dengan perdamaian dan keamanan sosial, tidak peduli siapa pun yang berkumpul," kata Yingyos.
Kelompok loyalis kerajaan menggunakan tagar #WeLoveTheMonarchy di media sosial. Tapi dibajak oleh pendukung pengunjuk rasa dengan unggahan-unggahan anti kerajaan.
Unjuk rasa anti-pemerintah tahun ini mengungkapkan perlawanan paling terbuka terhadap kerajaan setelah bertahun-tahun. Walaupun hukum lese majeste membuat pelaku yang melecehkan kerajaan dapat dihukum 15 tahun penjara.
Ketika unjuk rasa bermula pada bulan Juli lalu pengunjuk rasa hanya menuntut konstitusi baru dan meminta perdana menteri mundur. Demonstran menuduh Prayuth mencurangi pemilihan umum tahun lalu.
Tuntutan bertambah meminta wewenang raja pada negara dikurangi. Kerajaan Thailand memiliki kebijakan untuk tidak membuat pernyataan apa-apa ke media entah mengenai unjuk rasa atau tuntutan unjuk rasa.