REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik dari Universitas Nasional Singapura, Drew Thompson, menilai siapapun kandidat presiden Amerika Serikat (AS) yang terpilih dalam pemilu, Donald Trump atau Joe Biden, nantinya menghadapi Asia di bawah bayang-bayang China. Kebijakan luar negeri yang kontraproduktif hanya akan memperlihatkan ketidakpercayaan diri AS.
"Pihak manapun yang memenangkan jabatan periode berikutnya akan menghadapi kawasan ini dengan penuh suasana hedging (strategi menjalankan dua kebijakan luar negeri yang kontradiktif, red), dan hal itu merefleksikan kepercayaan diri AS yang kurang," kata Thompson dalam seminar virtual yang digelar Selasa.
"Saya kira hal itu juga menyangkut tentang seperti apa keadaan yang akan terjadi di kawasan yang berada di bawah kepemimpinan China," ujar Thompson, yang menyandang gelar Peneliti Tamu Senior di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura.
Menurut Thompson, kredibilitas AS di kawasan Asia telah menurun, setidaknya sejak dua kepemimpinan sebelum Trump saat ini. Pertama dengan Presiden George W Bush yang terganggu dengan urusan Timur Tengah ketika ia menjabat dan Presiden Barack Obama yang dianggap terlalu tak mau mengambil risiko.
Sementara Trump sendiri, kata Thompson, selama masa pemerintahannya empat tahun belakangan ini bersikap tidak menentu dan sulit ditebak. Trump terlalu berfokus pada China sebagai kekuatan rival AS yang utama dibandingkan melebarkan pengaruh ke negara di kawasan Asia.
"Saya rasa menjadi suatu kritik yang adil apabila kita menyebut dia (Trump) dan para penasihatnya hanya melihat negara-negara Asia sebagai panggung untuk berkompetisi dengan China, dan hal itu secara mendasar telah meremehkan dan tak menghargai mereka," ujar dia.
Analisis Thompson terhadap Biden, seandainya terpilih menjadi presiden AS berikutnya, adalah bahwa ia cenderung akan menghadirkan kembali karakter kebijakan luar negeri yang sempat dibawa oleh Obama.
"Namun di sisi lain, Biden lebih dapat diprediksi. Ia juga terlihat akan lebih mempunyai wibawa--dan ini menjadi sesuatu yang bagus. Ia cenderung tidak akan terlalu bersandar pada sekutu [...] namun hal ini juga menggarisbawahi tentang kemungkinan pemerintahan Biden yang tidak ingin mengambil risiko atau mengalami gesekan dengan negara kawan maupun lawan," demikian Thompson.