Senin 02 Nov 2020 13:01 WIB

Ketum DDII: Islam dan Barat Perlu Memahami Batas Toleransi

Setiap agama memiliki batas toleransi yang sepatutnya dipahami oleh agama lain.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ani Nursalikah
Ketum DDII: Islam dan Barat Perlu Memahami Batas Toleransi. Peserta aksi dari Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) menggelar aksi unjuk rasa di Titik Nol Yogyakarta, Jumat (30/10). Aksi ini imbas penyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Umat Islam dan Nabi Muhammad. Seruan boikot produk Perancis digaungkan saat aksi. Dan juga menuntut permintaan maaf dari Macron untuk Umat Islam.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Ketum DDII: Islam dan Barat Perlu Memahami Batas Toleransi. Peserta aksi dari Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) menggelar aksi unjuk rasa di Titik Nol Yogyakarta, Jumat (30/10). Aksi ini imbas penyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Umat Islam dan Nabi Muhammad. Seruan boikot produk Perancis digaungkan saat aksi. Dan juga menuntut permintaan maaf dari Macron untuk Umat Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Adian Husaini mengatakan, Islam dan Barat perlu memahami batas-batas toleransi. Karena, menurut dia, kasus pelecahan terhadap Nabi Muhammad SAW di negara-negara Barat telah terjadi berulang kali.

Menurut dia, peristiwa-peristiwa itu menunjukkan adanya perbedaan pandangan hidup yang mendasar antara peradaban Islam dan peradaban Barat. “Karena itu, untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai, diperlukan adanya saling memahami batas-batas toleransi antara Islam dan Barat. Perbedaan pandangan dalam berbagai bidang adalah bagian dari kehidupan umat manusia itu sendiri, yang tidak mungkin dihindarkan,” ujar Adian dalam dalam Kuliah Ahad Malam yang digelar DDII, Ahad (1/11).

Baca Juga

Adian menuturkan, antara Islam dan Barat modern memiliki perbedaan pandangan yang mendasar terhadap Tuhan, manusia, tujuan hidup, agama, kenabian, kitab suci, dan sebagainya. Barat, misalnya, menganggap Tuhan tidak boleh mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia merasa berhak mengatur hidupnya sendiri.

Menurut Adian, Barat memandang manusia boleh saja berganti agama sesuai kehendaknya. Sebab, itu termasuk hak asasi manusia. Namun, kata dia, hal itu berbeda dengan pandangan hidup kaum Muslimin.

Dia menekankan setiap agama atau peradaban memiliki batas-batas toleransi yang sepatutnya dipahami oleh agama atau peradaban lain, sehingga diperlukan kajian dan dialog untuk memperkecil benturan antaragama atau peradaban. Seperti kajian tentang paham kebebasan. Menurut dia, ada perbedaan yang sangat mendasar antara peradaban Barat dan Islam.

“Di Barat, kebebasan dianggap prinsip terpenting. Sampai-sampai menghina Tuhan dan Nabi pun tidak dilarang, karena itu dianggap sebagai dari kebebasan,” ucap Adian.

Sebagai contoh, di Barat dibiarkan saja berkembangnya ajaran Gereja Setan (Satanic Church) atau kelompok Kristen Telanjang (Nudic Christian). Menurut Adian, hal seperti itu tentu tidak bisa dibiarkan terjadi di Indonesia atau negeri Muslim lainnya.  

Contoh lain adalah kasus film The Last Temptation of Christ dan novel The Da Vinci Code yang dianggap melecehkan Yesus dan otoritas agama Kristen. Menurut Adian, semua itu menunjukkan ada kebebasan di Barat dalam soal ekspresi keagamaan.

Adian menjelaskan, bagi negara-negara Barat agama dianggap bukan hal penting. Karena itulah, Leopold Weiss (Muhammad Asad) menulis dalam bukunya, Islam at the Cross Roads bahwa peradaban Barat modern memiliki sifat 'irreligious in its very essence'.      

Tetapi, menurut Adian, faktanya di Barat pun ada batas-batas kebebasan. Mereka juga tidak bebas melecehkan seseorang atau etnis tertentu. Bahkan, di beberapa negara ada larangan homofobia dan rasialisme.

“Jadi, sekali lagi, kebebasan itu pasti ada batasnya,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement