REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!” seru Bung Tomo dalam pidatonya.
Tepat pada 75 tahun silam, pada 10 November 1945 terjadi pertempuran Surabaya. Melalui pidatonya, Bung Tomo membangkitkan gelora semangat arek-arek Suroboyo untuk memukul pasukan Inggris. Terlebih, peristiwa 10 November tidak bisa dipisahkan dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari atau pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tanggal 22 Oktober 1945.
“Kiai Hasyim Asy’ari menyerukan jihad untuk mempertahankan Republik Indonesia dari usaha pencamplokan kembali oleh Belanda. Nah, makanya berbondong-bondong umat Islam, mereka menyatakan diri siap berjihad. Memperjuangkan atau mempertahankan Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945,” kata Sejarawan Tiar Anwar Bachtiar saat dikonfirmasi, Selasa (10/11).
Seruan takbir yang dilontarkan oleh Bung Tomo merupakan satu rangkaian jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut Guru Besar Sosiologi Agama dan Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Mohammad Baharun, peristiwa 10 November merupakan momentum bersejarah yang klimaks dari perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Seruan takbir Bung Tomo di satu sisi mengagungkan asma Allah (hablun minallah) yang secara vertikal memohon kekuatan dari Allah dan menyemangati rakyat (hablun minannas). Seruan ini secara horizonal menyatukan kekuatan untuk melawan kezaliman saat itu.
Bung Tomo bertugas menyemangati arek-arek Suroboyo dan sekitarnya karena sudah mendapat wewenang berdasarkan resolusi jihad dari para ulama, khususnya dari KH Hasyim Asy'ari. Inilah yang menjadi senjata yang paling ampuh bagi santri yang digerakkan oleh Bung Tomo dengan seruan takbir itu. Perjuangan Bung Tomo bersama santri tak lepas dari bimbingan para masyaikh.