REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu kuasa hukum mantan Sekertaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Muhammad Rudjito, angkat bicara mengenai munculnya nama mantan ketua DPR RI Marzuki Alie pada persidangan kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan perkara di MA tersebut pada Rabu (11/11) pekan lalu. Nama Marzuki Alie disebut oleh salah seorang saksi, yakni Direktur PT Mitra Abadi Rahardja Hengky Soenjoto, yang juga kakak dari Hiendra Soenjoto.
Dalam sidang, Hengky mengatakan, Hiendra pernah ingin menggunakan uang pinjaman dari Marzuki Alie yang diduga untuk pengurusan sengketa hukum. Namun, Rudjito mengatakan, keterangan Hengky Soenjoto hanyalah mencatut semata.
"Soal catut mencatut ya begitulah, Marzuki Alie, Pramono Anung dan sebagainya. Bahkan ini di perkara ini juga ada yang dicatut namanya itu kalau enggak salah Moeldoko, nanti ada itu. Ada nama Pak Moeldoko disebut-sebut di dalam perkara ini, itulah resiko sebagai pejabat di republik ini. Siap namanya dicatut," ujar Rudjito dalam keterangannya, Kamis (19/11).
Rudjito memastikan, sejumlah nama pejabat negara yang sebelumnya sempat muncul di persidangan, tidak ada kaitannya sama sekali dengan perkara yang menjerat Nurhadi Cs. "Tidak ada hubungannya. Tidak ada hubungannya sama sekali," ujarnya
Nama Marzuki Alie beserta Sekretaris Kabinet Pramono Anung sebelumnya disebut dalam sidang Nurhadi dan menantunya. Hal itu diungkapkan saat Jaksa KPK Wawan Yunarwanto membacakan berita acara pemeriksaan Hengky Soenjoto, kakak Hiendra Soenjoto, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu (11/11) lalu.
Hiendra Soenjoto merupakan tersangka penyuap mantan sekretaris MA, Nurhadi, dan menantunya, Rezky Herbiyono. Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) itu ditangkap KPK di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan pada Kamis (29/11) lalu setelah masuk dalam daftar buronan sejak Februari 2020.
Sedangkan Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA. Penerimaan suap tersebut terkait pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) sekitar Rp 14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT berkisar Rp 33,1 miliar dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan sebesar Rp 12,9 miliar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp 46 miliar.