REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Beberapa melarikan diri dengan perahu. Beberapa bersembunyi di area bawah rumah mereka dan yang lainnya lari ke hutan menghindari petugas kesehatan pemerintah Malaysia.
Seluruh wilayah Sabah, Malaysia, di pulau Kalimantan, penduduk tanpa kewarganegaraan dan migran tidak berdokumen melarikan diri dari petugas kesehatan masyarakat yang melakukan pemeriksaan virus korona. Mereka takut ditahan atau dideportasi.
Perlombaan untuk mengatasi Covid-19 di negara bagian penghasil minyak sawit terbesar Malaysia menjadi rumit karena sekitar satu juta migran tidak berdokumen dan penduduk tanpa kewarganegaraan. Mereka menjadi sepertiga dari populasi wilayah itu.
Sabah menyumbang hampir setengah dari 54.775 infeksi Covid-19 yang tercatat di Malaysia dan lebih dari setengah 335 kematiannya. Padahal negara bagian ini hanya memiliki sepersepuluh dari populasi dari seluruh populasi Malaysia.
Tapi, pejabat kesehatan khawatir gambaran sebenarnya bisa jauh lebih buruk. Hal ini didorong dengan orang-orang menghindari pemeriksaan karena takut akan penahanan atau deportasi.
“Kami melihat pihak berwenang datang, kami melakukan apa yang selalu kami lakukan: lari,” kata migran tidak berdokumen yang tinggal di Distrik Semporna, Ahmad Han.
Para dokter di Sabah mengatakan beberapa migran menunda mencari perawatan bahkan setelah jatuh sakit,. Kondisi ini kemungkinan menyebabkan infeksi Covid-19 yang lebih parah dan tingkat kematian negara bagian yang lebih tinggi.
“Banyak yang datang hanya ketika mereka berada pada tahap di mana mereka mengalami kesulitan bernapas,” kata seorang dokter di Rumah Sakit Tawau di Sabah Timur.
Menurut data pemerintah, pada 17 November, hampir seperlima dari infeksi di negara bagian itu melibatkan orang asing. Mereka termasuk masyarakat adat tanpa kewarganegaraan serta pengungsi dan pekerja migran dari negara tetangga, Filipina dan Indonesia.
Sabah telah mencatat 192 kematian akibat Covid-19 sejauh ini. Data yang diberikan oleh Menteri Kabinet Sabah, Masidi Manjun, dari 176 kematian yang tercatat di negara bagian itu pada 16 November, 63 orang meninggal bahkan sebelum menerima perawatan, termasuk 40 orang asing. Data tersebut mencakup migran berdokumen dan tidak berdokumen.
"Banyak yang akan melarikan diri setiap kali mereka melihat perawat berseragam atau ambulans," kata juru bicara untuk urusan Covid-19 Sabah ini.
Ketakutan akan ditangkap terus menempel pada para migran meski pemerintah berjanji tidak akan melakukan hal tersebut. “Kami terus berusaha meyakinkan mereka bahwa mereka tidak akan ditangkap atau dideportasi saat menjalani tes Covid-19," kata Manjun.
Kelompok hak asasi manusia menyatakan, ketakutan imigran tidak berdokumen ini buntut dari sikap pemerintah. Tindakan keras Malaysia terhadap migran tidak berdokumen sejak awal pandemi memperburuk ketakutan di antara komunitas yang rentan. Negara itu telah menahan ribuan orang, termasuk selama penguncian, dalam upaya untuk membendung penyebaran virus.
Agar para migran ini mau melakukan tes. pejabat kesehatan bekerja sama dengan kelompok bantuan dan otoritas lokal untuk menjangkau kelompok rentan. Di pulau-pulau di lepas Semporna, komunitas pengembara laut Bajau Laut, yang sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan, hanya muncul setelah pejabat kesehatan bekerja sama dengan lembaga bantuan untuk membujuk menjalani pemeriksaan dengan imbalan persediaan seperti beras, minyak, susu formula, dan sanitasi.
Hanya saja, setelah mereka diuji, banyak yang melarikan diri karena takut dikarantina di darat. Terlebih lagi banyak pula yang tinggal di wilayah terpencil.
“Secara logistik, ini merupakan tantangan besar,” kata Ahmad Kamil dari kelompok bantuan Surah Al Falah yang berbasis di Sabah.
Kamil menjelaskan, banyak komunitas yang tinggal jauh di pedalaman atau di pulau-pulau terpencil. Kondisi inj memperparah pelacakan kontak atau mengangkut pasien ke fasilitas kesehatan. Dwina Agustin /reuters