Selasa 24 Nov 2020 11:33 WIB

Pengerahan TNI, MUI: Jangan Ada Kegaduhan tak Perlu

Unjuk kekuatan tidak efektif dan malah berdampak negatif pada citra pemerintah.

Sejumlah anggota TNI saat menertibkan spanduk Habib Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta, Jumat (20/11). Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman mengatakan akan menertibkan spanduk Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang terpasang sembarangan dan tanpa izin. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah anggota TNI saat menertibkan spanduk Habib Rizieq Shihab di kawasan Petamburan, Jakarta, Jumat (20/11). Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman mengatakan akan menertibkan spanduk Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab yang terpasang sembarangan dan tanpa izin. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustaz Fahmi Salim (UFS) mengimbau agar pemerintah membangun dialog dengan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab (HRS).  Komunikasi yang baik antara ulama dan umara (pemerintah) akan menyejukkan suasana keumatan di Tanah Air pada masa pandemi ini. 

"Pengerahan kekuatan TNI dan penggunaan perangkat lainnya adalah pendekatan yang tidak tepat. Kita rindu suasana keagamaan yang damai di tengah pandemi ini," kata pendiri Al-Fahmu Institut ini dalam siaran persnya, Selasa (24/11).

Unjuk kekuatan menurutnya tidak efektif serta malah berdampak negatif pada citra pemerintah. Melalui dialog dengan ulama dan tokoh sekaliber HRS akan membuat umat Islam di Indonesia tenang di tengah stigma kriminalisasi ulama yang timbul selama ini ekses Pilpres 2019 yang memecah belah masyarakat. 

"Jangan sampai muncul kegaduhan baru hanya masalah seperti ini, sementara kita masih ada masalah bersama yang harus ditanggulangi bersama-sama, yaitu keluar dari pandemi ini sesegera mungkin," kata Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah itu. 

Menurutnya, cara-cara pengerahan kekuatan militer yang vulgar di publik kepada ulama, justru akan semakin memperkeruh suasana di tengah fokus pemerintah melawan penularan Covid-19 dan pemulihan resesi ekonomi akibat pandemi yang berkepanjangan. Sedangkan dialog dengan tokoh-tokoh umat justru efektif untuk menguatkan komitmen pemerintah dalam mensosialisasikan pentingnya menegakkan protokol kesehatan untuk mengakhiri pandemi Covid-19. 

"Opsi dialog dengan tokoh agama, termasuk dengan Habib Rizieq Syihab, sangat dibutuhkan saat ini. Kita bangun suasana yang damai dan bersatu padu di tengah masalah bangsa yang saat ini mengadang," katanya.

Ustaz Fahmi menyebutkan, pemerintah punya banyak instrumen untuk melakukan pendekatan persuasif, misalnya melibatkan ormas-ormas Islam sekaligus mendengarkan aspirasi umat untuk kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, upaya dialog untuk merajuk harmoni kebangsaan dan keummatan harus didorong menjadi solusi atau jalan tengah.

Dia juga menyinggung upaya dialog antara HRS dengan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, sebagaimana diungkapkan jubir Wapres Masduki Baidlowi. Wacana tersebut patut diapresiasi dan terus didorong agar terimplementasi menjadi sebuah sinergi yang melibatkan partisipasi keumatan dalam pembangunan bangsa ke depan.

Keinginan HRS untuk berdialog dengan pemerintah sebenarnya sudah disampaikan dalam ceramah awal kedatangannya dengan istilah rekonsiliasi. Yaitu, dialog, duduk bersama, dan menyamakan persepsi dalam satu pola komunikasi. "Sinyalemen ini harus ditangkap sebagai peluang untuk mengurai benang kusut terjadinya polarisasi di antara anak bangsa," ujarnya.

Dialog ini juga akan mampu mereduksi polarisasi di tengah masyarakat serta menghidarkan publik ke jurang perbedaan yang menjerumuskan dalam ujaran kebencian kepada tokoh-tokoh Islam. Membiarkan pelaku yang melakukan ujaran kebencian akan menyuburkan perlawanan dari kaum yang merasa tertindas. 

Ujaran kebencian yang banyak dilakukan publik, bahkan oleh figur publik terhadap tokoh-tokoh Islam bisa menimbulkan bahaya besar. Jika hal tersebut tidak segera ditindak akan terjadi efek domino yang membuat ujaran kebencian sebagai hal yang lumrah di media sosial. "Membiarkan ujaran kebencian kepada tokoh-tokoh Islam, tokoh-tokoh ulama, itu akan menyuburkan radikalisme, ini sangat berbahaya." tegasnya.

"Bangsa ini sudah lama terpolarisasi akibat  masalah-masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan komunikasi, membangun kebersamaan, dan saling kepercayaan antara umat, ulama, dan umara," tuturnya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement