Kamis 03 Dec 2020 08:36 WIB

Iluni UI: Masih Banyak yang Anggap Covid-19 Konspirasi

Pemerintah perlu melakukan komunikasi efektif dan edukasi publik soal Covid-19.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Iluni UI mencermati masih ada pejabat atau kepala daerah di Indonesia yang menganggap Covid-19 bukanlah sesuatu yang harus diwaspadai, sementara sebagian masyarakat menganggapnya sebagai isu konspirasi.
Foto: CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Iluni UI mencermati masih ada pejabat atau kepala daerah di Indonesia yang menganggap Covid-19 bukanlah sesuatu yang harus diwaspadai, sementara sebagian masyarakat menganggapnya sebagai isu konspirasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) Herzaky Mahendra Putra menyatakan masih banyak orang yang tidak melihat infeksi virus corona jenis baru (Covid-19 ) yang menjadi pandemi dunia saat ini sebagai hal nyata. Tak sedikit yang menganggap penyakit wabah ini sebagai konspirasi atau hanya menyerang kalangan tertentu saja.

"Untuk itu, pemerintah perlu lakukan komunikasi efektif dan edukasi kepada publik,” ujar Herzaky dalam diskusi daring Forum Diskusi Salemba, seperti dikutip dalam keterangan pers Iluni UI yang diterima Republika.co.id, Rabu (3/12).

Baca Juga

Herzaky mengatakan, bahkan masih ada pejabat atau kepala daerah di Indonesia yang menganggap Covid-19 bukanlah sesuatu yang harus diwaspadai. Ia menyoroti masyarakat di sejumlah daerah yang tidak memiliki kesadaran untuk mengenakan masker, yang merupakan salah satu protokol kesehatan selama pandemi, kecuali saat ada otoritas yang mengawasi.

Tak hanya itu, Herzaky mengatakan, masih banyak orang-orang di perkantoran yang tidak mengenakan masker. Ia meminta agar pemerintah fokus pada isu kesehatan dan ekonomi dari Covid-19.

"Pemerintah seharusnya bisa mengambil kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan politik, jangan jadikan isu Covid-19 sebagai komoditas politik di berbagai sisi,” kata Herzaky.

Sementara itu, epidemiolog Universitas Indonesia Dr dr Tri Yunis Miko mengingatkan bahwa protokol kesehatan harus dilaksanakan pada semua aktivitas masyarakat di setiap sektor untuk mencegah penularan Covid-19. Tentunya, protokol kesehatan di tiap sektor akan berbeda disesuaikan dengan tingkat resikonya, misalnya, pada sektor pariwisata akan ada perbedaan antara tempat wisata indoor dan outdoor.

 

Tri mengingatkan, semua pihak harus ikut serta dalam penanggulangan Covid-19. Tempat bekerja pun juga harus jelas dengan protokol kesehatannya.

"Keterlibatan komunitas juga sangat penting karena melibatkan protokol kesehatan pada perusahaan-perusahaan, restoran, atau sekolah,” kata Tri.

 

Menurut Tri, seharusnya upaya pemutusan mata rantai penularan diterapkan mulai dari tingkat individu. Masyarakat diharapkan patuh terhadap protokol kesehatan yang berlaku.

Selain itu, protokol kesehatan bukan hanya 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan Mencuci tangan menggunakan sabun), namun protokol yang sudah di buat oleh tiap sektor harus dilaksanakan dengan baik. Misalnya, masyarakat di tempat kerja mematuhi protokol kesehatan sesuai yang diberlakukan di sana.

Menurut Tri, perlu pendekatan kolaboratif untuk mendisiplinkan masyarakat yang heterogen, seperti di Indonesia. Pendekatannya dapat berupa gabungan dari pendekatan edukatif, persuasif, promotif, ataupun diktatif.

"Hal ini disesuaikan dengan karakteristik masing-masing dari suatu kelompok masyarakat. Sulit mendisiplinkan masyarakat apabila tidak ada sanksi hukum yang adil dan menyeluruh,” jelas Tri.

 

Tri menilai seharusnya dilakukan pemenuhan terhadap enam kriteria dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebelum memberlakukan new normal (normal baru) pada suatu wilayah. Ia mengatakan,  Indonesia belum memenuhi persyaratan tersebut, namun sudah memberlakukan new normal, sehingga kasus positif Covid-19 kembali melonjak.

Selain itu, menurut Tri, penerapan suatu kebijakan dan sanksi tidak boleh disamaratakan antara zona merah, zona kuning, dan zona hijau. Ia juga mengingatkan Satgas Penanganan Covid-19, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, untuk memiliki perspektif yang sama terhadap upaya penanganan wabah.

“Penerapan sanksi yang benar tidak boleh tebang pilih, sehingga dalam penerapannya harus dilakukan edukasi dan sosialisasi secara konsisten kepada masyarakat,” jelas Tri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement