Jumat 04 Dec 2020 16:20 WIB

Perjuangan Hidup Mati Dokter Bedah Sembuh dari Covid-19

Doa orang terdekat sangat berarti serasa guyuran air di Gurun Sahara

Dokter Sriyanto Sp B, Dokter Spesialis Bedah yang berjuang melawan Covid-19. Ia membagikan kisahnya.
Foto: Dok Pribadi
Dokter Sriyanto Sp B, Dokter Spesialis Bedah yang berjuang melawan Covid-19. Ia membagikan kisahnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: dr Sriyanto Sp B, Dokter Spesialis Bedah

Saya seorang dokter bedah di sebuah Rumah Sakit di Wonogiri yang baru saja menyelesaikan masa isolasi. Berdua bersama anak bujang semata wayang, saya harus merasakan 12 hari “nikmatnya” ruang isolasi mulai tanggal 18-30 November 2020.

Alhamdulillah, saat ini kami berdua sudah sembuh dan dapat bernafas dengan lega. Bahkan saat ini kami  sudah dapat beraktivitas seperti sedia kala.

Saya ingin berbagi cerita beratnya perjuangan antara hidup dan mati pada masa isolasi. Sebuah pengalaman yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup.

Pada 18 November 2020, hasil tes swab saya dan anak saya positif. Kami segera berangkat ke ruang isolasi di RS Moewardi, Solo.

Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil. Kondisi ini diperparah karena keluarga besar kami sedang mendapatkan musibah.

Ayah mertua saya yang juga dokter bedah sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang karena positif Covid-19. Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total 8 orang dari keluarga kami yang positif Covid-19.

Sesampainya di ruangan isolasi, kondisi saya tambah buruk dengan demam yang masih tinggi. Setiap hari saya menggigil kedinginan dan bahkan setiap enam jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut.

Di hari keempat masa isolasi, saya mulai batuk dengan badan terasa sakit semua. Ketika menerima telepon dari keluarga atau sahabat, batuk semakin parah, Bahasa jawanya batuk ‘ngekel’. Setiap bergerak juga batuk seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari ruku' ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernafas lega.

Di hari keenam isolasi, kondisi semakin parah. Saat itu saya sudah tak bisa merasakan indera penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi jatah makan terasa sangat keras. Saya berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkonganku terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa sampai akhirnya saya muntahkan kembali nasi yang masih utuh itu.

Saya sampai protes ke bagian gizi rumah sakit. Saya marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Saya mengira koki Rumah Sakit lalai. Saya keluarkan semua uneg-uneg ini untuk meminta penjelasan.

Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa itu sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya. Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan.

Hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes.  Memang, sudah dua tahun ini saya harus melakukan suntik insulin novomik. Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berfikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian.

Tetapi, malam itu sekaligus penuh mukzizat karena saya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati Covid-19, malam itu saya mendapat injeksi 1 kantong plasma.

Disamping injeksi plasma,  saya juga minta disuntik tosilizumab. Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berfikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp 8 juta. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pascasuntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustasi.

Di hari kedelapan, saya mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu saya tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat EKG, oksigen lima liter, dan infus dua jalur. Seharian itu saya hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun.

Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75 persen. Badan lebih ringan, hati juga bahagia. Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati. Di hari ini saya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin.

Alhamdulillah saya bersyukur sekali bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien Covid-19, bahkan yang memiliki komorbid diabates.

Saat ini kondisi saya sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayang. Kami sudah pulang ke Wonogiri dan bahkan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah.

Namun, sedihnya kondisi ayah mertua tak dapat tertolong. Beliau tak bisa bertahan dan menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 21 November 2020. Beliau dimakamkan secara protokoler Covid-19.

Saat mendengar kabar duka itu, saya sedang berada di ruang isolasi. Semua kesedihan sepertinya menimpa saya, mulai tak bisa menelan makanan, demam tinggi, batuk parah, anak diisolasi dan mertua meninggal. Rasanya segala kepedihan muncul bersamaan.

Tetapi saya berusaha tegar dan tidak mau menyerah. Tak mau larut, saya bangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit ini. Tekad itu saya tanamkan kuat dalam hati karena saya masih ingin hidup untuk menambah amal shalih. Bekal saya belum cukup untuk pulang ke negeri keabadian.

Dengan  iringan doa dari seluruh kerabat dan sahabat, saya berusaha bangkit. Dukungan dari teman-teman di grup WhatsApp tiada henti mendoakan. Sungguh doa mereka sangat berarti serasa guyuran air di Gurun Sahara. Ada yang mendoakan melalui telpon, Facebook, dan juga yang mendoakan dalam diam.

Betapa sebuah doa di saat kondisi kritis membuat saya sangat bahagia. Terlebih lagi melihat kiriman video santri-santri TPQ dari berbagai daerah yang mengirimkan doa hingga beberapa hari. Mulut-mulut kecil itu meminta saya untuk tetap semangat agar bisa bertemu mereka kembali untuk mengobati orang lagi. Tak terasa air mata menetes.

Sebuah pelajaran berharga bagi saya  dan juga semua orang di masa pandemi ini. Bahwa ketika kondisi kritis, tetap percayakan pengobatan kepada medis. Bahwa obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba. Kita harus tetap rasional.

Doa juga menjadi penyembuh. Doa-doa yang tulus serta perhatian dari orang sekeliling sangat membantu percepatan pengobatan. Jangan pernah lelah memberikan perhatian dan doa untuk mereka yang sedang sakit. Sungguh pelukan doa dari orang-orang terkasih begitu berharga.

Jaga kesehatan dan terapkan protokol dimanapun berada. Selalu gunakan masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta menjaga jarak aman dengan orang lain.

Stay safe

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement