REPUBLIKA.CO.ID, Ketidakadilan pada seseorang karena menjadi perempuan kerap terjadi dalam lingkup sosial masyarakat. Mirisnya, ketidakadilan yang berakar pada cara pandang negatif pada perempuan ini kerap tidak disadari karena muncul dalam tindakan yang diyakini baik, dan ilmiah oleh masyarakat.
Peradaban manusia diwarnai oleh tradisi tidak manusiawi pada perempuan. Misalnya penguburan bayi perempuan hidup-hidup saat lahir karena memalukan, menjadikan perempuan sebagai komoditas, hadiah, warisan, bahkan membakar diri hidup-hidup bersama jenazah suami yang di India disebut Sati.
Adalah seorang dosen Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. yang gelisah karena cara pandang negatif pada perempuan juga kerap muncul dalam pandangan keagamaan. Sementara ia meyakini bahwa Islam justru mempunya cara pandang yang sangat positif pada perempuan.
“Islam telah menegaskan kemanusiaan perempuan sejak awal hadir. Artinya, perempuan dan laki-laki sama-sama berstatus hanya hamba Allah yang mengemban amanah sebagai Khalifah fil Ardl. Keduanya menjadi subyek penuh sistem kehidupan sehingga sama-sama wajib mewujudkan kemaslahatan di muka bumi, sekaligus berhak menikmatinya”, kata Ustazah Nur Rofi'ah saat dihubungi Republika, Rabu (25/11).
Kemanusiaan Perempuan
Menurut alumni Universitas Ankara Turki ini, ketidakadilan pada perempuan berakar dari cara pandang negatif pada lima pengalaman biologis perempuan, yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Cara pandang tersebut selanjutnya membuat perempuan sangat rentan alami lima pengalaman sosialnya, yaitu dicap negatif (stigmatisasi), direndahkan (subordinasi), dipinggirkan (marjinalisasi), kekerasan, dan beban ganda.
Cara pandang positif pada perempuan, lanjutnya, meniscayakan pengakuan atas lima pengalaman biologis perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan mereka. Karena lima pengalaman biologis perempuan tersebut disertai dengan rasa sakit (adza) bahkan sangat sakit (wahnan ‘ala wahnin), maka sebuah tindakan hanya disebut manusiawi jika tidak menambah sakit lima pengalaman biologis ini. Lima pengalaman sosial perempuan di atas juga tidak adil sehingga sebuah tindakan hanya dinilai manusiawi jika tidak mengandung salah satunya.
Cara pandang atas sepuluh pengalaman perempuan ini, lanjut ustazah Nur Rofiah, menentukan level kesadaran seseorang tentang kemanusiaan perempuan dan sangat mempengaruhi cara pandang umat atas kemaslahatan manusia sebagai tujuan agama. Pertama Terendah, yaitu menolak perempuan sebagai manusia. Kesadaran level ini tidak memandang tindakan buruk pada perempuan sebagai pelanggaran agama. Kedua Menengah, yaitu menolak pengalaman biologis khas perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan mereka. Kesadaran level ini belum memandang tindakan buruk pada pengalaman ini dan tindakan tidak adil hanya karena menjadi perempuan sebagai pelanggaran agama. Ketiga Tertinggi, yaitu memandang pengalaman biologis perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan mereka sehingga tindakan buruk pada pengalaman biologis khas perempuan atau mengandung ketidakadilan hanya karena menjadi seorang perempuan sebagai pelanggaran agama. Inilah yang disebut keadilan hakiki perempuan
Ikhtiar
Ustazah Nur Rofiah menyadari bahwa tantangan mewujudkan keadilan gender Islam sangat besar. Laki-laki bagaimana pun tidak mengalami rasa sakit saat menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Mereka juga mengalami ketidakadilan hanya karena menjadi perempuan. Karenanya sangat wajar jika tidak mengetahuinya, lalu memandangnya tidak ada sehingga tidak mempertimbangkannya. Sementara hingga kini, ruang-ruang strategis pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat, negara, dunia, dan agama masih mereka dominasi.
Tantangan lainnya yang juga besar menurutnya adalah cara pandang negatif atas perempuan ini telah mewarnai cara pandang manusia atas dunia selama berabad-abad. Tidak mustahil ia juga mewarnai nilai-nilai kebaikan universal seperti kemanusiaan dalam Hak Asasi Manusia, norma sosial dan kearifan masyarakat, standar ilmiah dalam sains, dan standar kemaslahatan dalam agama.
Tantangan ini menurut Ustazah Nur Rofiah meniscayakan ikhtiar semua pihak. Ia sendiri berinisiatif menggelar Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) sejak pertengahan 2019. Semula ngaji dilakukan secara offline dan gratis karena memanfaatkan kesempatan tugas keluar kota. Sejak pandemi, ngaji hanya dilakukan secara online yang justru jadi bisa dijangkau lebih luas. Dalam setahun ngaji telah diikuti oleh seribu peserta lebih, baik dari dalam maupun luar negeri.
“Yang penting setiap orang ikhtiyar untuk menggunakan modal sosialnya berupa kesehatan fisik, harta, kekuasaan, wewenang, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, maupun jaringan yang dimiliki untuk ikut mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta, termasuk bagi perempuan,"jelas dia.