REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Independen Pemantau Pemilih (KIPP) menyayangkan kemenangan pasangan calon (paslon) tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. KIPP memandang fenomena itu sebagai kemunduran demokrasi. Sekjen KIPP, Kaka Suminta menyampaikan fenomena paslon tunggal menjadi masalah kronis dalam proses demokrasi di Tanah Air yang bertahan sejak era reformasi. Lahirnya reformasi justru tak membuat praktek ini hilang di daerah.
"Ini kemunduran demokrasi, bukan cuma anomali lagi akibat proses panjang reformasi yang tidak diikuti reformasi pemerintahan, parpol dan otonomi daerah. Ini buat wadah politik dalam pemilu hanya sebagai kuda troya mencapai kekuasaan yang tidak demokratis," kata Kaka pada Republika.co.id, Sabtu (19/12).
Kaka mengutarakan rasa prihatinnya atas kemenangan sapu bersih para paslon kepala daerah tunggal. Kehadiran kotak kosong tak mampu menggerakkan masyarakat ke TPS. Menurut Kaka, masyarakat lebih butuh calon kepala daerah alternatif ketimbang stok lama hasil oligarki kekuasaan.
"Reformasi politik tidak terjadi secara substansial lebih pada prosedural saja. Tentu kemungkinannya makin kuat dorongan ke arah kegagalan demokrasi maka timbulkan kekecewaan rakyat. Calon tunggal buat rakyat tidak punya pilihan lagi," ujar Kaka.
Kaka menekankan oligarki dimulai dari penguasaan sektor ekonomi. Kemudian dari hulu, parpol mengental pada sekelompok orang dan saat berkoalisi hanya demi para pemegang ekonomi. Hal ini membuat lawan politik oligarki sulit bersaing.
"Fenomenanya tidak cuma calon tunggal tapi mereka juga dari lingkaran keluarga saja yang maju atau keluarga pejabat pusat seperti keluarga Presiden, Wakil Presiden atau Menteri," ungkap Kaka.
Kaka mengingatkan pemerintah dan para politisi supaya memperbaiki kualitas demokrasi seutuhnya. Demokrasi jangan hanya digunakan sebagai alat mencapai kekuasaan, tapi juga menyejahterakan rakyat.
"Kalau dalam Pilkada pemenang bisa dipastikan itu juga kegagalan Pilkada. Prosesnya pasti tapi hasilnya harusnya tidak bisa ditebak karena itulah dinamika politik," imbau Kaka.
Diketahui, berdasarkan hasil penghitungan suara sementara, 25 daerah pilkada dengan satu calon tunggal mengantongi suara lebih tinggi dari kotak kosong atau kolom kosong.
Calon tunggal mengantongi suara di atas 70 persen bahkan ada juga yang 90 persen seperti di Kota Semarang, Badung dan Boyolali. Hanya pemilihan bupati dengan calon tunggal di Kabupaten Humbang Hasundutan yang berjalan cukup kompetitif, calon tunggal di kabupaten ini hanya berhasil mendapatkan suara 52,5 persen.