Kamis 24 Dec 2020 16:15 WIB
Teropong Republika 2020-2021

Menghitung Nasib Politik Dinasti Pilkada 2020

Dinasti politik dinilai kian marak sejak putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015.

Rep: Nawir Arsyad Akbar, Febrianto Adi Saputro, Rizkyan Adiyudha, Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Sejumlah massa yang mengatasnamakan Gerakan Peduli Simalungun (GPS) menggunakan pakaian adat Batak Simalungun saat berunjuk rasa di depan kantor PDI Perjuangan Sumut, Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/6/2020). Dalam aksinya mereka meminta kepada partai politik untuk menolak politik dinasti dalam proses pencalonan menjelang pilkada khususnya di Sumatera Utara
Foto: Antara/Septianda Perdana
Sejumlah massa yang mengatasnamakan Gerakan Peduli Simalungun (GPS) menggunakan pakaian adat Batak Simalungun saat berunjuk rasa di depan kantor PDI Perjuangan Sumut, Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/6/2020). Dalam aksinya mereka meminta kepada partai politik untuk menolak politik dinasti dalam proses pencalonan menjelang pilkada khususnya di Sumatera Utara

Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting nasional yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Nagara Institute mencatat, Pilkada 2020 yang masih dalam proses penghitungan suara diikuti ratusan calon kepala daerah (cakada) yang terpapar dinasti politik. Artinya, cakada tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat publik maupun wakil rakyat, baik lokal maupun nasional.

Dalam catatan Nagara Institute, setidaknya ada 124 cakada yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dinasti politik. Rinciannya, 57 kandidat merupakan calon bupati, 30 orang calon wakil bupati, 20 calon wali kota, 8 calon wakil wali kota, 5 calon gubernur, dan 4 calon wakil gubernur.

Sejumlah nama menjadi topik pemberitaan media karena memiliki kekerabatan dengan tokoh nasional. Seperti putra dan menantu Presiden Joko Widodo, putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, keponakan mantan wapres Jusuf Kalla, hingga adik Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo.

Masih dalam riset Nagara Institute, terjadi peningkatan jumlah kandidat peserta pilkada yang terpapar dinasti politik dari pilkada sebelumnya. Terhitung, pada pilkada 2005-2014 lalu, hanya tercatat memunculkan 59 cakada yang terpapar dinasti politik. Namun, di pilkada 2015,2017, dan 2018, jumlahnya menjadi 86 orang. Kini, jumlah cakada terpapar dinasti politik sudah tembus seratusan calon.

Pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan menilai dinasti politik memang lebih banyak muncul di masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Bukan tanpa sebab, karena di era pemerintahan Jokowi inilah muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015. "Saya memandang pertama karena ada putusan MK (yang membatalkan pasal dinasti politik), itu. Yang kedua adalah political will itu sendiri Itu tidak nampak," tutur Djohan dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Menurutnya, ada kepentingan elite politik yang membuat dinasti politik dianggap hal wajar. Misalnya, ada kecenderungan untuk menggunakan politik kekerabatan dalam menjalankan pemerintahan. Djohan menilai kondisi ini tidak ditemukan saat era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menganggap ada potensi berbahaya dari praktik dinasti politik.

"Bagi saya, dari segi rezim pemerintahan, memang rezim pemerintahan dulu itu tidak menyukai lah ya begitu tidak pro terhadap politik kekerabatan itu. Sehingga kemudian bisa dimunculkan pengaturannya," tegas Djohan. Meskipun, dalam praktiknya di Pilkada 2020, muncul juga nama cakada yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan SBY di Kabupaten Pacitan.

Faktor pendukung

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni pernah menyebut, dinasti politik yang dihadapi saat ini bukan dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan. Namun, lebih kepada politik dinasti yang cenderung destruktif. Titi menilai ada sejumlah faktor yang memberi kontribusi terjadinya politik dinasti yang destruktif.

Pertama adalah kaidah hukum yang memungkinkan praktik itu terjadi. Yakni, besaran ambang batas pencalonan kepala daerah. Kedua, kelembagaan partai politik yang belum demokratis. Titi menduga rekrutmen cakada cenderung elitis, yang keputusannya diambil hanya segelintir orang di partai politik. Selanjutnya, mahalnya biaya politik juga ikut berkontribusi menghadirkan politik dinasti.

"Sayangnya mahalnya itu lebih banyak kepada hal-hal yang sifatnya ilegal seperti mahar politik, politik uang dan seterusnya," tuturnya.

Di sisi lain, partai politik menilai munculnya cakada yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat publik merupakan hal alamiah. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto bahkan menegaskan, seorang anak pejabat masih memiliki hak untuk berkontestasi dalam pesta demokrasi.

"Tapi pada akhirnya rakyat yang menentukan dan mempunyai kedaulatan di dalam menentukan pemimpinnya," kata Hasto.

Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan. Ia menilai hal tersebut bukan sebuah kesalahan. Menurutnya, seorang anggota keluarga politikus maju dalam pemilihan pemimpin suatu daerah, hal yang biasa terjadi di berbagai negara. Ia juga membandingkan profesi lain, seperti dokter dan tentara yang biasanya juga diikuti oleh anaknya. "Kalau keluarga dokter, keluarganya dokter lagi gitu. Kalau ada pengusaha, pengusaha lagi. Ini di mana salahnya gitu," ujar Zulkifli

Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka juga mengaku bingung dirinya disebut bagian dari politik dinasti. Gibran yang pada Pilkada Kota Solo menang berdasarkan rekapitulasi Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) ini menegaskan, keikutsertaannya dalam pilkada adalah sebuah kontestasi. "Ya saya kan ikut kontestasi, bisa memang bisa kalah, bisa dicoblos bisa tidak. Jadi, tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya dan ini kan kontestasi bukan penunjukan," kata Gibran.

Calon bupati Kediri Hanindhito Pramono mengaku tanpa disadari telah dikader sejak usia enam tahun. Saat itu, dia kerap mengikuti sang ayah, Pramono Anung berkeliling dari satu daerah pemilihan ke daerah pemilihan lain. Menurutnya, bukan hal asing jika pada akhirnya diminta PDIP untuk melakukan regenerasi dalam pemerintahan di kabupaten Kediri. "Kalau saya berhasil orang akan menganggap, jelas kamu anak Pramono. Kalau gagal, bodoh sekali Dito kamu anaknya Pramono. Ini tidak perlu dipusingkan," kata Hanindhito.

Tak pasti menang

Pencoblosan yang sudah usai pada Rabu (9/12) lalu menyisakan pertanyaan, apakah politik dinasti cukup ampuh mengantarkan cakada menduduki kursi pemerintahan. Berdasarkan data yang sudah dimasukkan dalam Sirekap KPU, hingga Senin (21/12) kemarin, ternyata politik dinasti tak memberi jaminan cakada bakal diminati pemilih.

Tercatat, dari sembilan cakada yang terpapar dinasti politik di pemilihan gubernur, hanya meloloskan dua calon untuk menduduki kursi gubernur dan wakil gubernur. Ada empat cakada di pilgub yang berkontestasi dalam satu wilayah di Sulawesi Utara. Dari empat nama, hanya meloloskan satu cakada Olly Dondokambey dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Sementara, untuk pemilihan tingkat kota, dari 28 cakada yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat, hanya sukses mengantarkan sembilan cakada menduduki kursi wali kota dan wakil wali kota. Dari sembilan nama itu, dua cakada menjadi pemberitaan yang paling sering muncul karena merupakan kerabat Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka yang menang di Pilkada Kota Solo, dan Bobby Nasution di Kota Medan.

Di lingkup kabupaten, dari 87 cakada yang terpapar dinasti politik, kalah dan menang memiliki porsi yang hampir seimbang. Tercatat, ada 39 cakada dari dinasti politik meraih suara terbanyak, dan 45 lainnya kalah dari pasangan calon lain. Di lingkup kabupaten ini, belum seluruh rekapitulasi terbaca di Sirekap.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dini Suryani mengaku ada faktor yang bisa mengalahkan praktik dinasti politik. Antara lain, munculnya cakada yang dinilai potensial oleh masyarakat setempat dengan didukung modal seperti finansial, citra diri, maupun program baik yang dianggap kuat. Kondisi ini muncul pada pemilihan wali kota Cilegon yang membuat kalah dinasti politik sekaligus pejawat kepala daerah.

Selain itu, dinasti politik juga dapat dikalahkan oleh masyarakat yang kecewa dengan kinerja pemimpin dari dinasti politik. Dalam kasus Cilegon, pejawat merupakan anak dan adik dari wali kota Cilegon yang sama-sama menjabat dua periode dan menjadi tersangka kasus korupsi. "Dalam hal ini artinya masyarakat cukup berdaya untuk menggunakan hak pilihnya sebagai instrumen untuk menghukum pejabat politik yang kinerjanya buruk," tutur Dini.

TABEL:

Dinasti Politik Pilkada 2020:

Pemilihan Kabupaten

Kalah: 45

Menang: 39

Pemilihan Kota

Kalah: 18

Menang: 9

Pemilihan Provinsi

Kalah: 7

Menang: 2

Total: 120

*Ada empat cakada yang belum tercatat

Sumber: Sirekap KPU/NAGARA INSTITUTE

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement