REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Tengah hari ini saya tercenung di depan layar Youtube yang menayangkan tayangan jumpa pers Menko Polhukam Prof DR Moh Mahfud MD. Dalam tayangan jumpa pers tentang larangan berkegiatan Ormas FPI itu terlihat unik karena terkesan serbaterburu-buru dan tegang.
Kenyataan tersebut tampak jelas saat diakhir tayangan ada pernyataan dari Prof Mahfud bahwa jumpa pers kali ini tak ada forum tanya jawab. Ini memang tampak berbeda karena lazimnya karena Prof Mahfud suka dan piawai sekali berdebat untuk melayani pertanyaan para wartawan.
Uniknya, saat diumumkan tanggalnya kok ya di akhir tahun. Padahal setiap kali memasuki tahun baru ini ada peringatan tsunami Aceh. Bencana yang memakan korban hingga setidaknya hingga 250 ribu jiwa tersebut tepatnya terjadi pada pukul 08:58:53 WIB tanggal 26 Desember 2004. Episentrumnya terletak di lepas pantai barat Sumatra, Indonesia. Guncangan gempa tersebut berskala 9,1–9,3 dalam skala kekuatan Momen dan IX dalam skala intensitas Mercalli.
Nah, menyaksikan tayangan jumpa pers Menko Polhukam tersebut, langsung saya tercenung sendirian. Ada apa ini? Hati saya galau dan bertanya-tanya.
Ya sembari terus memelototi arus media sosial dan mencoba menelusuri kepastian berita soal pembubaran FPI, maka tiba-tiba ingatan ini kembali terkenang pada peristiwa bencana tsunami yang pada 26 Desember 2004 terjadi di Aceh.
Waktu itu, Saya datang ke sana pada pekan pertama bencana itu setelah melalui perjuangan panjang berebut tiket pesawat yang menuju Banda Aceh melalui Bandara Polonia, Medan. Di dalam pesawat garuda Garuda yang menuju Banda Aceh saya bertemu wartawan senior dan mentor saya, Hersubeno Arief. Dia yang kala itu sudah jadi host dan wartawan Metro TV terlihat sangat kaget karena saya duduk di bangku kelas eksekutif.
''Hebat benar kamu,'' kata Hersu sembari terkekeh sembari menepuk-nepuk pundak.
''Iya dong. Saya kan dibekali banyak uang mas,'' jawab saya bercanda sambil menujuk ke dalam tas. Lagi-lagi Hersu tertawa ngakak. Setelah itu berpisah karena dia harus duduk dibagian kursi belakang, sedangkan saya dibagian depan yang tak berdesakan karena berada di kelas bisnis.
Dan memang, beberapa saat sebelum mendarat di Banda Aceh saya ingat betul saat itu pemandangannya sungguh mengenaskan. Ibu kota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam porak poranda. Di udara tampak jelas puing kota yang berserak dan berubah menjadi rawa. Sebagian wilayah yang terkena tsunami masih tergenang sisa hempasan tsunani air laut.
Melalui jendela pesawat terbang udara terlihat berkilauan di atas bibir pantai yang terpapar tsunami. Pemandangannya persis seperti pemandangan hutan bakau yang gundul. Suasana ini kontras pada kunjungan saya ke kota atau wilayah ini sebelumnya yang terlihat sebagai wilayah padat namun di kelilingi perbukitan hijau.
Benar saja, ketika sudah mendarat, suasana horor kota Banda Aceh segera menyerobok mata. Puing berserakan. Aneka mobil nyangkut di pohon di pinggir jalan. Mayat bergelimpangan. Jalanan hitam berlumpur. Bau anyir di mana-mana. Kalau malam gelap gulita.
Suasana makin suram karena hujan sering kali turun. Untuk tidur nyenyak suatu kemewahan. Pendopo kantor gubernur di jadikan tempat menginap relawan hingga wartawan yang datang dari seluruh penjuru dunia. Semua tumplek seperti sarden dan ikan asin. Saya memilih tinggal di pinggiran kota Banda Aceh. Saya tidur di atas lantai dalam sebuah ruko bersama beberapa teman relawan dari Jawa. Di antara mereka ada sosok Rocker 80-an yang saat itu sudah jadi ustadz, Harry Moekti.
''Maaf ya kalau dulu bikin tergila-gila kamu dengan lagu 'Ada Kamu' hingga Lintas Melawai'. Ayo sekarang ngaji saja. Apalagi ini lagi di tengah bencana,'' kata Hari Moekti yang sampai sekarang masih saya ingat.
Memang, beberapa pekan kemudian suasana mulai pulih. Satu dua penduduk yang rumahnya tidak terkena tsunami mulai paham secara penuh bahwa wilayahnya terkena bencana yang sangat dahsyat.
Kala itu banyak orang yang masih trauma dan sedih akibat kehilangan sanak famili dalam sekejap. Tampak sekali mereka coba kuatkan hati. Warung gulai yang sangat terkenal di bilangan jalan Simpang Surabaya Banda Aceh kala itu yang semua tutup mulai buka kembali. Lumayan makin gampang cari makan gule aceh yang sedap yang konon dikasih sedikit daun ganja.
Meski begitu perbankan masih belum buka secara penuh. Telekomunikasi masih belum lancar. Saya kirim berita melalui telepon atau menumpang bila ada fasilitas faksimili di telepon umum di area yang tak terkena tsunami.
Meski begitu ada satu masalah yang sangat serius. Hal itu adalah soal evakuasi jenazah atau mayat yang masih terendam dalam air dan reruntuhan. Selama itu sebagian para korban itu hanya diletakan dan dikumpulkan di pinggir jalan seperti di kawasan yang menuju ke arah pantai Lhok Nga, bahkan hingga jalan protokol di dekat pusat kota.
Saya yang semula takut pada mayat dan terlebih bila berjalan melalui ruas jalan penuh tumpukan mayat itu pada malam hari, berangsur-angsur mulia hilang takutnya. Ini bukan karena jagoan, tapi karena ruas jalan itu satu-satu jalan untuk pulang liputan dari pusat kota di malam hari. Akibatnya, menjadi berani karena terbiasa. Istilah pepatah Melayunya: ala bisa karena biasa.
Beberapa waktu lamanya soal evakuasi jenazah masih belum ada penyelesaian. Ini makin rumit karena banyak mayat yang tertimbun di reruntuhan bangunan yang berair. Alhasil, banyak relawan jeri untuk mengambilnya dengan berbagai alasan dari soal psikologi, tenaga, hingga takut terkena bakteri.
Nah, di saat yang serba tanda tanya itu, muncul relawan dari Jakarta. Mereka datang naik kapal. Rombongannya jumlahnya banyak. Uniknya lagi mereka menyatakan datang untuk membantu bencana Aceh, terutama untuk mengangkat mayat yang masih berada di bawah reruntuhan bangunan. Dan saya mahfum, ini soal serius karena tak mudah dan berisiko tinggi.
Siapa rombongan relawan yang nekad mengangkat mayat itu? Jawabnya, mengejutkan ternyata para anggota Front Pembela Islam (FPI). Saya lebih terkejut karena nama ormas ini kala itu selalu terdengar negatif misalnya kerap dituding tukang bikin onar, 'grebeg sono grebeg sini'.
Di situlah saya melihat dengan setengah tidak percaya. Tapi saya harus menemui mereka karena redaktur saya di Jakarta 'Mas Yoebal Ganesha' (kini menetap di Yogyakarta) menyuruh menemuinya.
"Kamu lihat itu dan tulis apa yang terjadi,'' perintahnya melalui sambungan telepon dari kantor redaksi Republika di Jakarta.
Akhirnya saya pun berangkat mencari rombongan FPI. Ternyata mereka tinggal di dekat pemakaman umum di kota Banda Aceh. Mereka tidur memakai tenda. Saya pun lihat sang Komandan FPI, seorang lelaki muda yang sekarang terkenal dengan nama Habib Rizieq Shihab.
Dan memang sebelumnya, sebagai jurnalis saya pernah bertemu di rumahnya untuk keperluan beberapa wawancara. Saya kala itu di terima Habib Rizieq di ruang tengah kediamannya yang ada di tengah kampung Petamburan, Jakarta.
Nah, pada saat itu bertemu lagi dengannya di dalam suasana bencana Tsunami Aceh dan uniknya di area pemakaman umum, tempat angota FPI kala itu berkumpul.
"Asalamualaikum. Apa kabar. Ente ada di Aceh juga,'' tanya Rizieq kala itu yang masih saya ingat. Saya mengangguk mengiyakan dan memberi tahu bahwa di Banda Aceh sudah lumayan lama.
''Iya Bib liputan bencana,'' sahut saya. Dan tanpa memberi waktu bertanya malah saya balik bertanya.''Bib saya mau sholat Dhuhur nih. Eh apa boleh saya shalat dengan pakaian begini. Pakai celana yang hanya di sedikit di bawah lutut. Celana lain kotor kena najis semua,'' tanyaku.
Habib Riziek memandang ke arah saya sejenak. Saya memang pakai jaket parasut dan rangsel dengan celana gunung yang panjangnya sedikit di bawah lutut. Penampilan saya memang seperti seorang 'alien' (makhluk luar angkasa).
Kebetulan di belakangnya memang ada bangunan mushola dan waktunya sudah tengah hari. Dia hanya senyum saja melihat pemandangan saya yang mungkin tampak 'ganjil' itu karena secara terus terang tetap ingin sholat meski dalam keadaan serba darurat. Dan saya ingat beli celana dan jaket itu di kios pakaian olah raga yang berada di pinggir kota Banda Aceh yang tak terkena tsunami.
Laskar FPI saat itu lalu lalang di dekat kami. Beberapa peralatan evakuasai mayat dan kendaraan untuk mengangkutnya terlihat bersliweran. Berapa alat angkut diantaranya truk terlihat parkir di depan kompleks makam. Melalui alat inilah satu persatu anggota FPI mengangkut jenazah dari reruntuhan dan puin yang terkena air pasang dipinggir pantai.
Habieb Riziek teryata mau menunggu dengan sabar sampai saya usai shalat. Kami kemudian berbincang sembari duduk mengaso di emper halaman mushola.
''Sudahlah ente tulis sendiri kegiatan FPI di Banda Aceh. Apa yang kamu lihat dan rasakan tulis apa adanya saja,'' katanya ringan.
Kami pun berbincang cukup lama dengan banyak tema mengenai suka duka selama melakukan evakuasi atas ribuan jenazah para korban tsunami.