Senin 04 Jan 2021 15:37 WIB

Saksi Penting Kasus Suap Edhy Prabowo Meninggal

Saksi yang diduga mengetahui banyak hal terkait suap yang menjerat mantan menteri KP.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Pelaksana Harian (Plh) Juru Bicara KPK Ali Fikri
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Pelaksana Harian (Plh) Juru Bicara KPK Ali Fikri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah seorang saksi penting dalam kasus dugaan suap terkait penetapan izin ekspor benih lobster meninggal dunia pada Kamis (31/12) pekan lalu. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengungkapkan, saksi penting tersebut bernama Deden Deni yang merupakan pengendali PT Aero Citra Kargo (PT ACK). 

"Informasi yang kami terima yang bersangkutan meninggal sekitar tanggal 31 Desember yang lalu," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi, Senin (4/1).

Ali mengatakan, Deden merupakan salah seorang saksi yang diduga mengetahui banyak hal terkait suap yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo tersebut. Deden yang disebut merupakan  salah seorang Direktur PT Perishable Logistic Indonesia (PLI) itu juga sempat diamankan dan diperiksa intensif saat KPK menggelar OTT pada 25 November 2020 lalu. 

Dalam penyidikan, Deden juga pernah diperiksa penyidik KPK pada 7 Desember 2020. Saat itu, penyidik mencecar Deden mengenai proses pengajuan permohonan izin ekspor benur lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sekedar informasi, PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan kargo yang direstui Edhy Prabowo untuk memonopoli jasa pengangkutan benur ke luar negeri dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor. Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK  menggunakan PT PLI yang tergabung dalam ATT Group sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri.

Diduga, dari tarif Rp 1.800 per ekor yang ditetapkan untuk pengiriman benur ke luar negeri, terdapat fee untuk Edhy Prabowo yang memiliki saham di PT ACK dengan meminjam nama atau nominee Amri dan Ahmad Bahtiar.

Kedua nama itu yang kemudian menampung aliran dana dari PT ACK untuk Edhy yang diduga berasal dari para eksportir benur. 

Nama Deden juga merupakan satu dari empat nama yang dicegah KPK untuk bepergian ke luar negeri untuk enam bulan ke depan. 

Selain Deden, tiga nama lainnya yang dicegah bepergian ke luar negeri, yakni anggota Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra Iis Rosita Dewi yang juga istri dari Edhy Prabowo; Neti Herawati, istri dari pengurus PT ACK Siswadhy yang juga telah menyandang status tersangka; serta Dipo Tjahjo Pranoto yang disebut sebagai pengendali PT PLI.

Ali berjanji, meninggalnya Deden Deni tak memengaruhi proses penyidikan. Ia memastikan, masih banyak saksi dan alat bukti lainnya yang dapat dipergunakan penyidik untuk membongkar kasus ini. 

"Proses penyidikan perkara tersangka EP (Edhy Prabowo) dan kawan-kawan tidak terganggu. Sejauh ini masih berjalan dan tentu masih banyak saksi dan alat bukti  lain yang memperkuat pembuktian rangkaian perbuataan dugaan korupsi para tersangka tersebut," tegas Ali. 

Pada Senin (4/1), penyidik menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua orang saksi, yakni Direktur PT Maradeka Karya Semesta, Untyas Anggraeni dan seorang wiraswasta bernama Bambang Sugiarto. Keduanya diperiksa  untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Chairman PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito yang diduga sebagai salah satu pemberi suap kepada Edhy.

"Keduanya diperiksa untuk tersangka SJT (Suharjito)," kata Ali.

KPK menetapkan tujuh tersangka terkait penetapan perizinan ekspor benih lobster pada Rabu (25/11) malam. Tujuh tersangka itu terdiri dari seorang tersangka pemberi dan enam tersangka penerima.

Tersangka penerima, yaitu Edhy Prabowo (EP), Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF), Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Pribadi Misata (APM), Amiril Mukminin (AM) dari unsur swasta/Sekretaris Pribadi Edhy, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD), staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih (AF). Tersangka pemberi, yakni Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT).

Para tersangka penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement