REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menanggapi tim advokasi korban penembakan laskar FPI yang telah melaporkan tragedi Jakarta 21-22 Mei 2019 dan peristiwa pembunuhan 7 Desember 2020 di Tol Japek Km 50 ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda.
Menurutnya, tindakan tersebut merupakan hak seseorang untuk melaporkan suatu peristiwa yang dianggap penting bagi mereka.
"Dalam konteks peristiwa penembakan enam anggota FPI yang diadukan ke Pengadilan Pidana Internasional adalah hak mereka yang mempunyai kepentingan. Nantinya, akan dipertimbangkan International Criminal Court (ICC)," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/1).
Kemudian, dia menjelaskan kasus tersebut akan ditentukan ICC. Adapun dua cara penegakan hukumnya yaitu pertama bisa secara langsung. Penegakkan secara langsung berarti cara menegakkan norma-norma hukum pidana internasional (Hapid Intl) dengan mengajukan tuntutan kepada pelaku melalui ICC yang dilakukan di Den Haag, tempat didirikan ICC, yang yuridiksinya meliputi kejahatan perang, genosida, kejahatan kemanusiaan dan agresi.
Kedua, penegakkan secara tidak langsung. Penegakkan ini berarti cara menegakan norma-norma Hapid Intl dengan mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap pelaku melalui pengadilan nasional negara tertentu.
Prosesnya tunduk kepada sistem hukum negara tertentu (UU nasional). Pelaksanaannya didasarkan kerjasama internasional seperti ekstradisi, mutual legal assistence treaty, judicial assistance treaty antarnegara.
"Belum ada kasus di Indonesia yang dilaporkan selain ini. Ya menurut saya sah sah saja ya untuk dilaporkan. Jadi, tinggal nunggu keputusan ICC maunya bagaimana," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Tim Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melaporkan tragedi Jakarta 21-22 Mei 2019 dan peristiwa pembunuhan 7 Desember 2020 di Tol Japek Km 50 ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Pelaporan itu dilakukan karena menilai dua kejadian tersebut sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat resmi negara.
Salah satu anggota tim advokasi korban, Munarman, mengatakan, pelaporan tersebut resmi dilayangkan pada 16 Januari 2021. Munarman mengirimkan bukti pelaporan tersebut pada Selasa (19/1) malam dengan menyampaikan gambar tangkapan layar aduan yang dikirimkan kepada juru bicara dan Kepala Departemen Luar Negeri ICC Fadi El-Abdallah.
“Ini bukti pelaporan tim advokasi korban pelanggaran HAM berat, tragedi 21-22 Mei 2019 dan pembantaian 7 Desember oleh aparat negara ke ICC,” kata Munarman lewat pesannya kepada Republika.co.id, Selasa (19/1) malam.