Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen di STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sebagian orang menganggap bahwa bertanya itu sesuatu yang mudah. Siapa saja bisa melontarkan pertanyaan. Yang dibutuhkan hanyalah hasrat ingin tahu.
Namun tidak demikian halnya dalam pandangan orang-orang yang mengerti nilai sebuah pertanyaan. Bagi mereka pertanyaan menunjukkan kualitas seseorang. Para ulama mengatakan:
لم يفهم الجواب من لم يطرح السؤال “Tidak akan paham jawaban orang yang tidak melontarkan pertanyaan.”
Suatu ketika Muhammad bin Hasan yang masih remaja datang ke majelis Imam Abu Hanifah. Ia lalu melontarkan sebuah pertanyaan. Mendengar pertanyaan itu, Abu Hanifah bertanya, “Pertanyaan ini dari orang lain atau dari dirimu sendiri?” Ia menjawab, “Dariku sendiri.” Abu Hanifah berkata: سألت سؤال الرجال “Engkau telah melontarkan pertanyaan orang dewasa.”
Lalu Abu Hanifah berpesan, “Datanglah selalu ke halaqah kami.” Sejak saat itu, Muhammad bin Hasan menjadi murid dekat Imam Abu Hanifah. Ketertarikan sang Imam berawal dari pertanyaan sang murid yang berbobot. Pertanyaan itu yang menjadi indikasi kecerdasan dan kesiapan sang murid untuk menimba ilmu.
Imam Khatib Baghdadi meriwayatkan, suatu kali Muhammad bin Hasan datang ke majelis Imam Malik di Madinah. Kemudian ia melontarkan pertanyaan pada sang Imam. “Apa pendapatmu tentang seorang yang junub ; ia tidak mendapatkan air kecuali di masjid?” Imam Malik menjawab, “Orang yang junub tidak boleh masuk ke masjid.”
“Lalu apa yang mesti ia lakukan? Sementara waktu shalat sudah masuk dan ia tahu ada air di masjid?”
Imam Malik mengulang jawaban yang sama bahwa orang yang junub tidak boleh masuk masjid. Muhammad bin Hasan pun kembali mengatakan, “Apa yang mesti ia lakukan padahal waktu shalat sudah masuk dan ia tahu kalau di masjid ada air?”
Akhirnya Imam Malik dengan kerendahan hatinya bertanya, “Menurut engkau sendiri bagaimana?”
Muhammad bin Hasan menjawab, “Ia bertayammum dulu, lalu masuk ke masjid. Kemudian ia ambil air dari masjid, lalu keluar dan mandi menggunakan air itu.”
Muhammad bin Hasan kemudian belajar kepada Imam Malik dan menjadi salah seorang perawi terbaik kitab Muwaththa`. Namun hal ini tidak menghalanginya untuk mengkritisi beberapa hal dari mazhab Malik Inilah yang dituangkan oleh Imam Muhammad bin Hasan dalam kitabnya al-Hujjah ‘ala Ahli al-Madinah yang merupakan bantahan ilmiah terhadap mazhab Imam Malik dalam bidang hadits dan fiqih.
Perbedaan dalam beberapa hal tidak menjadi penghalang bagi para ulama untuk saling mengambil dan menerima, belajar dan mengajar. Mereka percaya bahwa ilmu ibarat rahim bagi para pecintanya. Karena itulah ketika mendengar kabar Imam Malik wafat, Imam Muhammad bin Hasan begitu sedih.
Imam Asad bin al-Furat, salah seorang murid Imam Muhammad bin Hasan menceritakan, “Suatu kali Muhammad bin Hasan berada di majlisnya bersama murid-muridnya. Tiba-tiba datang seorang laki-laki. Orang itu mendekat pada sang Imam dan membisikkan sesuatu. Setelah itu kami mendengar Imam Muhammad berkata: “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah terjadi musibah yang sangat besar. Telah wafat Malik bin Anas, telah wafat Amirul Mukminin dalam hadits.” رحم الله علماءنا ونفعنا بعلومهم فى الدارين ، آمين