Selasa 26 Jan 2021 17:11 WIB

Kenaikan Dana Otsus Papua yang Dinilai Masih Terlalu Kecil

Peningkatan dana Otsus Papua hingga 2041 membutuhkan anggaran Rp 234,6 T.

Anak-anak menelepon guru saat belajar di Kampung Gudang Garam, Skanto, Keerom, Papua. Pemerintah akan memperpanjang dana otonomi khusus (Otsus) Papua hingga 2041.
Foto: ANTARA/Indrayadi TH
Anak-anak menelepon guru saat belajar di Kampung Gudang Garam, Skanto, Keerom, Papua. Pemerintah akan memperpanjang dana otonomi khusus (Otsus) Papua hingga 2041.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Adinda Pryanka

Rencana perpanjangan dana otonomi khusus (Otsus) Papua selama 20 tahun akan diikuti dengan kenaikan plafon alokasi dana tersebut. Perpanjangan dan kenaikan dana Otsus disebut pemerintah sebagai bentuk keberpihakan ke masyarakat Papua dan Papua Barat.

Baca Juga

Anggota DPD RI asal Papua Barat, Filep Wamafma, namun menilai angka tersebut masih terlalu kecil apabila nantinya Papua jadi dimekarkan menjadi lima wilayah pemekaran. "Angka 2,25 persen itu ditujukan untuk provinsi-provinsi yang ada di Papua (sesuai RUU Otsus). Bila dimekarkan menjadi, katakanlah lima provinsi, maka angka 2,25 persen itu menjadi sangat kecil, padahal tuntutan pembangunan dari awal terhadap provinsi baru sangatlah tinggi," kata Wafafma kepada Republika, Selasa (26/1).

Selain itu Wamafma juga menyoroti pendapatan dari pajak daerah dan atau dari perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Menurutnya, hal tersebut justru memunculkan pertanyaan tersendiri terhadap perusahaan-perusahaan yang mengelola hasil tambang dari Papua.

"Misalnya perusahaan smelter milik Freeport di Gresik, apakah pajaknya diberikan juga kepada Papua? Pertanyaan ini penting untuk dibahas karena bagi hasil 80 persen dari pertambangan umum itu seperti tidak ada realisasi nyata dalam Otsus," ujarnya.

Kemudian ia menambahkan, untuk pertambangan minyak bumi, gas alam, dan bagi hasil pajak, yang pembagiannya lebih lanjut antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain perlu diatur secara adil dan berimbang dengan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua (Perdasus), dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Ia mengimbau, agar Kementerian Keuangan mengecek lebih jauh sejumlah Perdasus yang dibentuk.

"Keempat, bila memang ada wacana untuk menghilangkan dana Otsus di Papua, maka desain pembangunan di Papua harus berbasis pada kemandirian Papua, artinya bahwa semua perusahaan yang beroperasi di Papua dan/atau di luar Papua, selama menghabiskan alam milik Papua, harus mengembalikan sebesar-besarnya kemakmuran Papua," tuturnya.

Selain itu, dia juga menyampaikan sejumlah catatan terhadap penyelenggaraan Otsus selama 20 tahun ini. Kondisi sosial ekonomi di Papua dan Papua Barat dinilai membaik pada periode 2015-2019. Sepanjang periode itu, kemiskinan di Papua turun dari 28,40 persen menjadi 27,53 persen. Sementara Papua Barat turun dari 25,72 persen menjadi 22,17 persen.

Sementara itu Indeks Pembangunan Manusia Papua (IPM) naik dari 57,25 ke 60,84, sedangkan Papua Barat dari 61,73 ke 64,7. Perbaikan ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Wamafma menjelaskan penurunan angka kemiskinan dan perbaikan IPM itu dinilai terlalu sedikit, bila dibandingkan dengan lamanya Otsus. Apalagi bila dibandingkan dengan provinsi yang lain, Provinsi Papua dan Papua Barat selalu berada di posisi terbawah. Ia berpandangan ada yang tidak tepat, dan keliru dalam pembangunan bagi Papua dan Papua Barat. Namun ia melihat persoalan tersebut terletak pada politik keuangan otsus.

"Berkaca pada ketentuan UU Otsus ini, maka perlu ada reorientasi, reformulasi kebijakan keuangan terhadap Papua dan Papua Barat," ungkapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan pemerintah akan memperpanjang dana otonomi khusus (Otsus) Papua hingga 2041. Peningkatan besaran Otsus akan membutuhkan anggaran Rp 234,6 triliun. Jumlah tersebut dua kali lipat lebih besar dibandingkan total dana Otsus Papua selama dua dekade terakhir, yakni Rp 101,2 triliun.

Perhitungan tersebut dengan asumsi kenaikan Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai 3,02 persen per tahun berdasarkan rata-rata perkembangan pagu DAU selama sembilan tahun terakhir. "Estimasi kami, apabila APBN dan dana transfer umum berkembang sesuai dengan plan jangka panjang, dana otsus selama 20 tahun ke depan akan capai lebih dari Rp 234 triliun," tutur Sri dalam Rapat Kerja dengan Komite I DPD secara virtual, Selasa (26/1),

Sri menuturkan, pemberian dana Otsus kepada Papua harus diperpanjang hingga dua dekade mendatang. Salah satu alasannya, untuk memberikan kesempatan kepada Papua untuk mengejar ketertinggalan mereka dibandingkan daerah lain.

Beberapa indikator penting menunjukkan, masyarakat Papua masih harus menghadapi kekurangan jika dibandingkan warga Indonesia lainnya, termasuk dari sisi kesehatan. Merujuk pada data Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK), Sri menyebutkan, dampak pembangunan kesehatan bagi Orang Asli Papua (OA) lebih rendah 4,23 tahun dibandingkan non-OAP.

"Kenapa kami usulkan 20 tahun lagi? Karena kami akan memberikan kesempatan lagi bagi Papua untuk mengejar karena Papua bagian dari RI," katanya dalam Rapat Kerja dengan Komite I DPD secara virtual, Selasa (26/1),

Di sisi lain, dampak pembangunan infrastruktur OAP lebih rendah dibandingkan non OAP. Sementara akses air minum layak 26,32 persen lebih rendah dari rata-rata nasional, akses sanitasi layak bahkan hampir 50 persen lebih rendah.

Tingkat kemiskinan OAP pun 1,7 hingga 1,9 kali lebih tinggi dibandingkan non OAP, sementara laju penurunan kemiskinannya 1,89 persen lebih lambat. Apabila kecenderungan ini tidak berubah, maka kesenjangan tingkat kemiskinan kedua kelompok akan semakin lebar ke depannya.

Sri menuturkan, apabila indikator-indikator ini masih menunjukkan ketertinggalan dari rerata nasional, maka dibutuhkan upaya pemerataan yang lebih signifikan. "Oleh karena itu, kami berikan dana pemihakan otsus 20 tahun lagi dengan tujuannya untuk mengurangi kesenjangan," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Tapi, Sri menekankan, perpanjangan waktu pemberian dana Otsus itu tentu harus dibarengi dengan perbaikan dari berbagai kekurangan dalam dua dekade terakhir. Di antaranya, mengidentifikasi kebutuhan layanan dasar dan upaya mempercepat proses pembangunan serta perbaikannya, sehingga bisa langsung berdampak ke masyarakat.

Melalui jangka waktu dana Otsus 20 tahun ke depan, Sri menambahkan, pemerintah pusat juga memberikan kesempatan kepada Papua untuk mendorong kemandirian daerah. Khususnya melalui penguatan pembinaan dan pengawasan, termasuk untuk mendorong optimalisasi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup tinggi.

Dari data yang disampaikan Sri, terlihat, proporsi PAD terhadap pendapatan daerah Papua sepanjang 2015 hingga 2020 secara keseluruhan hanya 4,86 persen. Kontribusi ini sangat rendah dibandingkan sumbangan otsus dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang masing-masing memiliki proporsi 70,29 persen dan 9,13 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement