REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah Ali bin Abu Thalib wafat, al-Hasan ditunjuk sebagai khalifah pengganti ayahnya. Namun, masa kepemimpinannya tidaklah mudah.
Ada dua kubu kaum muslimin yang bertikai. Hasan memiliki keinginan untuk mendamaikan kedua kubu yang bermasalah.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, sebagai khalifah, al-Hasan harus mampu memikul beban yang sangat berat, karena negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaannya tengah diguncang kekacauan dan ketidakstabilan politik. Angin kencang menerjang negeri yang dipimpinnya itu dari segala penjuru.
Betapa tidak? Pedang orang-orang Irak masih menyisakan darah setelah memerangi orang-orang Syam.
Sementara, pertikaian antara kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Mu'awiyah bin Abu Sufyan pun belum selesai 100 persen, melainkan sebatas gencatan senjata selama arbitrase berlangsung. Karena itu, nasib gencatan senjata kini berada di ujung tanduk, peperangan bisa meletus setiap saat dengan mudah, seperti sebelumnya.
Bersama pasukannya, al-Hasan bergerak meninggalkan Kufah menuju Mada-in. Ia mengirim pasukan pemukul menuju wilayah Maskin di bawah komando Qais bin Sa'ad bin Ubadah al-Anshari. Padahal saat itu, para pengikut al-Hasan menyarankan, "Bergeraklah menuju kaum yang menentang Allah dan Rasul-Nya serta melakukan dosa-dosa besar itu" (Siyar A'lamin Nubala). Yang mereka maksud adalah Mu'awiyah dan pasukannya.